Pusat Edukasi

Rumah Pusat Edukasi Belajar Forex Pusat Edukasi Gratis Apakah Perang Dagang AS-China Masih Jadi Ancaman di Tahun 2025?

Apakah Perang Dagang AS-China Masih Jadi Ancaman di Tahun 2025?

by rizki

Apakah Perang Dagang AS-China Masih Jadi Ancaman di Tahun 2025?

Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok telah menjadi salah satu konflik ekonomi paling signifikan dalam satu dekade terakhir. Dimulai secara resmi pada tahun 2018 ketika pemerintahan Donald Trump mulai mengenakan tarif tinggi terhadap barang-barang impor dari Tiongkok, konflik ini telah menciptakan ketegangan global yang berdampak pada rantai pasokan, harga komoditas, hingga kebijakan moneter di berbagai negara. Meski sempat mereda pada awal pandemi COVID-19 dan saat pergantian pemerintahan di AS, perang dagang ini ternyata tidak benar-benar usai.

Kini, pada tahun 2025, muncul pertanyaan yang masih relevan dan mendesak untuk dijawab: Apakah perang dagang AS-China masih menjadi ancaman serius bagi perekonomian global dan Indonesia secara khusus?

Latar Belakang Singkat Perang Dagang

Perang dagang AS-China bermula dari kekhawatiran Amerika Serikat terhadap defisit perdagangan yang besar terhadap Tiongkok. Pemerintahan Trump menuding Tiongkok melakukan praktik perdagangan yang tidak adil, termasuk pencurian kekayaan intelektual, subsidi industri dalam negeri secara berlebihan, dan manipulasi mata uang. Sebagai balasan, AS mengenakan tarif bea masuk terhadap ratusan miliar dolar barang impor dari Tiongkok. Tiongkok pun tak tinggal diam; mereka juga menerapkan tarif terhadap produk-produk AS.

Akibatnya, terjadi perlambatan dalam perdagangan global, investasi asing terhambat, dan ketidakpastian pasar meningkat. Beberapa sektor seperti pertanian, teknologi, dan otomotif terkena dampak langsung. Tak hanya itu, pasar negara berkembang seperti Indonesia juga ikut merasakan dampaknya dalam bentuk volatilitas mata uang, penurunan ekspor, serta tekanan terhadap neraca perdagangan.

Kondisi Terbaru di 2025

Memasuki tahun 2025, banyak yang berharap bahwa hubungan ekonomi antara dua raksasa dunia ini akan kembali normal. Namun kenyataannya, gesekan antara AS dan Tiongkok masih terus berlangsung, meski tidak selalu dalam bentuk tarif yang sama seperti dulu. Perang dagang kini telah berevolusi menjadi perang teknologi, perang mata uang, bahkan perang geopolitik ekonomi.

Pemerintahan AS saat ini meneruskan kebijakan pengawasan dan pembatasan terhadap ekspor teknologi strategis ke Tiongkok, terutama dalam bidang semikonduktor, kecerdasan buatan, dan jaringan 5G. Hal ini dilakukan dengan dalih melindungi keamanan nasional dan menjaga keunggulan teknologi AS. Sementara itu, Tiongkok mempercepat strategi "dual circulation", yaitu meningkatkan konsumsi domestik sembari memperluas ekspor ke negara-negara berkembang yang lebih bersahabat secara politik, seperti di Asia Tengah dan Afrika.

Dengan pendekatan yang lebih strategis dan kompleks ini, perang dagang tidak lagi hanya soal tarif barang, tetapi mencakup ekosistem produksi global secara keseluruhan.

Dampak Global dan Regional

Dampak dari kelanjutan perang dagang ini sangat terasa di berbagai lini ekonomi global. Berikut beberapa dampak utama yang masih menjadi perhatian di 2025:

  1. Disrupsi Rantai Pasokan Global
    Perusahaan-perusahaan multinasional terpaksa memikirkan ulang strategi manufaktur dan distribusi mereka. Banyak yang mulai melakukan reshoring atau nearshoring untuk mengurangi ketergantungan terhadap Tiongkok, yang selama ini menjadi pusat manufaktur dunia. Akibatnya, negara-negara Asia Tenggara, termasuk Vietnam, Thailand, dan Indonesia, mulai mendapatkan limpahan investasi baru.

  2. Ketidakpastian Pasar Keuangan
    Ketegangan antara dua negara adidaya ini membuat investor global bersikap hati-hati. Setiap pengumuman kebijakan perdagangan, sanksi, atau pembatasan ekspor teknologi dapat memicu volatilitas pasar saham, nilai tukar, dan harga komoditas.

  3. Perlambatan Ekonomi Global
    IMF dan World Bank telah beberapa kali menyesuaikan proyeksi pertumbuhan global akibat ketidakpastian geopolitik dan perang dagang. Ketika dua ekonomi terbesar di dunia saling menekan, implikasinya akan menyebar ke seluruh dunia, terutama negara berkembang yang mengandalkan ekspor dan investasi asing.

  4. Aliansi dan Blok Ekonomi Baru
    Tiongkok semakin agresif dalam membentuk kerja sama ekonomi bilateral dan multilateral dengan negara-negara non-Barat. Salah satu yang menonjol adalah Belt and Road Initiative (BRI) yang kini memasuki fase integrasi digital dan keuangan. Sementara itu, AS memperkuat kemitraan dengan sekutu tradisionalnya seperti Uni Eropa, Jepang, dan India.

Bagaimana dengan Indonesia?

Sebagai negara berkembang dengan ekonomi terbuka, Indonesia sangat terdampak oleh dinamika global semacam ini. Di satu sisi, Indonesia berpotensi menjadi alternatif lokasi investasi asing yang ingin keluar dari Tiongkok. Ini merupakan peluang strategis yang harus dimanfaatkan melalui perbaikan iklim investasi, regulasi yang lebih ramah bisnis, dan pembangunan infrastruktur.

Namun di sisi lain, Indonesia tetap bergantung pada ekspor ke kedua negara tersebut, baik bahan mentah ke Tiongkok maupun produk olahan ke pasar AS. Ketika dua negara ini saling menekan dengan tarif dan hambatan lainnya, maka arus perdagangan Indonesia pun bisa terganggu.

Selain itu, ketidakpastian global membuat nilai tukar rupiah rentan terhadap guncangan eksternal, yang pada akhirnya dapat berdampak pada inflasi, harga barang kebutuhan pokok, serta biaya impor bahan baku industri dalam negeri.

Strategi Menghadapi Ancaman Perang Dagang

Pemerintah dan pelaku bisnis di Indonesia tidak bisa bersikap pasif menghadapi situasi ini. Beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan antara lain:

  • Diversifikasi pasar ekspor: Tidak hanya mengandalkan AS dan Tiongkok, tetapi juga memperkuat hubungan dagang dengan negara-negara di Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika.

  • Mendorong hilirisasi industri: Indonesia harus bergerak dari sekadar pengekspor bahan mentah menjadi produsen barang bernilai tambah tinggi.

  • Meningkatkan daya saing industri dalam negeri: Termasuk melalui adopsi teknologi, efisiensi logistik, dan reformasi regulasi.

  • Memperkuat cadangan devisa dan stabilitas makroekonomi: Untuk mengantisipasi fluktuasi nilai tukar dan arus modal global.

  • Edukasi dan adaptasi masyarakat terhadap tren global: Literasi ekonomi, teknologi, dan perdagangan harus ditingkatkan agar masyarakat tidak hanya menjadi korban dari dinamika global, tetapi juga pelaku yang aktif berpartisipasi.

Perdagangan Masa Depan: Ancaman atau Peluang?

Meskipun perang dagang AS-China masih menjadi ancaman di tahun 2025, situasi ini juga menyimpan peluang besar bagi negara-negara seperti Indonesia. Di tengah ketidakpastian, ada celah untuk memperkuat kemandirian ekonomi, menarik investasi yang berkualitas, dan mendiversifikasi pasar.

Yang paling penting adalah kesadaran bahwa perdagangan global kini telah memasuki era baru—era yang lebih dipengaruhi oleh politik, teknologi, dan keamanan nasional, bukan sekadar efisiensi ekonomi. Oleh karena itu, semua pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, pelaku usaha, hingga individu, harus bisa membaca arah angin dan bersiap menghadapi realitas baru ini.


Ingin memahami lebih dalam tentang dinamika global, geopolitik, dan bagaimana semua ini berdampak langsung pada pasar keuangan dan peluang trading? Saatnya Anda meningkatkan literasi dan strategi finansial Anda melalui program edukasi trading yang komprehensif dan terpercaya dari Didimax. Sebagai broker lokal resmi yang telah berpengalaman lebih dari satu dekade, Didimax menyediakan pembelajaran gratis baik secara online maupun offline, didampingi mentor profesional di bidangnya.

Kunjungi www.didimax.co.id sekarang juga dan mulai perjalanan Anda dalam dunia trading dengan pengetahuan yang kuat dan strategi yang matang. Jangan biarkan ketidakpastian global membuat Anda pasif—jadilah bagian dari mereka yang mampu memanfaatkan peluang dalam setiap tantangan ekonomi.