
Larangan bunga uang atau riba bukan hanya dikenal dalam ajaran Islam, tetapi juga memiliki akar yang kuat dalam dua agama besar lainnya, yakni Yahudi dan Nasrani (Kristen). Dalam sejarah panjang tradisi keagamaan Barat, praktik peminjaman uang dengan bunga dianggap sebagai bentuk ketidakadilan, eksploitasi, dan bahkan dosa. Perdebatan mengenai etika bunga uang telah berlangsung selama berabad-abad, membentuk kebijakan ekonomi, hukum keuangan, hingga peran lembaga keagamaan dalam kehidupan ekonomi masyarakat.
Artikel ini akan mengulas secara mendalam bagaimana larangan bunga uang berkembang dalam tradisi Yahudi dan Kristen, bagaimana interpretasinya berubah seiring waktu, serta bagaimana relevansi nilai-nilai tersebut dalam konteks dunia keuangan modern.
Akar Larangan Bunga dalam Yudaisme
Dalam tradisi Yahudi, larangan bunga uang berasal dari Taurat, khususnya dalam kitab-kitab Musa (Pentateukh). Salah satu ayat paling eksplisit yang menolak bunga adalah dalam Keluaran 22:25:
“Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai seorang penagih hutang terhadap dia; janganlah kamu bebankan bunga uang kepadanya.”
Ayat ini menunjukkan bahwa larangan dikenakan terutama terhadap sesama orang Israel—anggota komunitas Yahudi. Prinsip solidaritas, kasih terhadap sesama, dan keadilan sosial menjadi dasar pelarangan ini. Dalam Imamat 25:35-37, larangan ini kembali ditegaskan, dengan ajakan untuk menolong sesama agar tetap hidup bersama di tanah yang sama, tanpa menindas mereka secara ekonomi.
Bunga uang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai kasih dan persaudaraan. Peminjaman uang dalam masyarakat Yahudi tradisional adalah bentuk bantuan, bukan kesempatan untuk meraih keuntungan. Karena itu, memungut bunga dari orang miskin yang sedang kesulitan dianggap sebagai pelanggaran moral serius.
Namun, teks-teks Yahudi juga memperlihatkan adanya pengecualian terhadap larangan ini dalam hubungan dengan “orang asing” (non-Yahudi). Dalam Ulangan 23:20:
“Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga…”
Hal ini mencerminkan dinamika sosial dan ekonomi pada masa itu, serta perbedaan perlakuan hukum antara sesama umat dan kelompok luar.
Peran Talmud dan Interpretasi Rabbinik
Dalam literatur rabbinik, terutama Talmud, larangan bunga uang berkembang menjadi sistem hukum yang lebih terstruktur. Bukan hanya pelaku langsung (pemberi pinjaman dan peminjam) yang dianggap bersalah jika terjadi praktik riba, tetapi juga saksi dan penulis kontrak bunga ikut dianggap melanggar hukum Yahudi.
Meski begitu, para rabi juga mengembangkan cara-cara untuk mengakomodasi kebutuhan ekonomi yang berkembang. Salah satu mekanisme adalah heter iska, yaitu kontrak bisnis yang memformulasikan pinjaman sebagai bentuk investasi dengan risiko bersama, bukan peminjaman biasa. Dengan pendekatan ini, keuntungan dibagi berdasarkan hasil usaha, bukan bunga tetap, sehingga tetap sesuai dengan hukum Yahudi.
Ini mencerminkan keseimbangan antara idealisme religius dan realitas kebutuhan ekonomi. Larangan bunga tetap dihormati, tetapi tidak membuat masyarakat Yahudi tertinggal dalam perkembangan ekonomi.
Pandangan Gereja Kristen Awal
Tradisi Kristen mewarisi larangan bunga uang dari Yudaisme. Yesus dalam ajarannya tidak secara langsung membahas bunga uang, tetapi ajaran-Nya menekankan pentingnya belas kasih, memberi tanpa mengharap imbalan, dan tidak menindas sesama. Dalam Lukas 6:35, Yesus berkata:
“Tetapi kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan...”
Gereja Kristen awal, khususnya dalam tulisan-tulisan Bapa Gereja seperti Ambrosius, Agustinus, dan Basil, mengecam keras praktik bunga uang. Mereka melihatnya sebagai bentuk ketamakan yang mencederai keadilan sosial. Dalam pandangan mereka, uang tidak boleh “beranak” atau menghasilkan uang tanpa kerja nyata, sebuah gagasan yang kemudian dirumuskan dalam istilah Latin pecunia pecuniam parere non potest.
Konsili-konsili gereja seperti Konsili Nicea (abad ke-4) dan Konsili Lateran (abad ke-12) secara eksplisit melarang para klerus dan umat Kristen untuk meminjamkan uang dengan bunga. Gereja memandang bunga sebagai bentuk ketidakadilan ekonomi dan penyalahgunaan kekuasaan atas mereka yang miskin dan lemah.
Perubahan Perspektif di Abad Pertengahan dan Modern
Namun, seiring berkembangnya ekonomi pasar dan perdagangan lintas negara di Eropa abad pertengahan, tekanan untuk merevisi larangan bunga semakin besar. Perkembangan sistem keuangan dan kebutuhan modal usaha membuat masyarakat Eropa mulai mencari celah atau justifikasi terhadap praktik bunga.
Beberapa ordo keagamaan, seperti para Fransiskan dan Dominikan, mulai meninjau kembali hukum bunga dalam konteks baru. Mereka membedakan antara mutuum (pinjaman konsumtif, yang tetap dilarang diberi bunga) dan foenus (pinjaman produktif atau investasi, yang bisa dianggap wajar menerima imbal hasil).
Pada abad ke-16, reformasi Protestan yang dipimpin oleh tokoh seperti Martin Luther dan John Calvin membawa pengaruh besar terhadap pandangan bunga. Luther masih menolak bunga dengan tegas, tetapi Calvin membuka ruang diskusi lebih luas. Calvin mengizinkan bunga dalam kadar tertentu selama tidak menindas orang miskin dan dilakukan secara adil.
Ini menjadi titik awal perubahan besar dalam etika keuangan Kristen, khususnya di dunia Barat. Bank mulai tumbuh pesat, dan sistem kapitalisme perlahan-lahan membentuk dunia modern. Gereja Katolik pun akhirnya melunak terhadap praktik bunga, selama tidak bersifat eksploitatif.
Etika Keuangan dalam Dunia Modern
Hari ini, bunga uang menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem ekonomi global. Hampir semua sistem perbankan dan investasi melibatkan bunga. Namun demikian, warisan moral dari larangan bunga dalam tradisi Yahudi dan Kristen tetap hidup dalam bentuk prinsip-prinsip etika keuangan.
Isu-isu seperti ekonomi yang inklusif, perlindungan terhadap konsumen, dan keadilan sosial dalam sistem keuangan adalah wujud kontemporer dari nilai-nilai tersebut. Banyak gereja dan komunitas Yahudi modern mendorong praktik keuangan etis, termasuk program pinjaman mikro tanpa bunga, koperasi sosial, dan inisiatif keuangan berbasis komunitas.
Di tengah kemajuan teknologi finansial, muncul juga gerakan ethical banking dan impact investing yang kembali menekankan tanggung jawab sosial dari lembaga keuangan. Prinsipnya tetap sama: keuangan seharusnya tidak menjadi alat penindasan, melainkan alat pemberdayaan.
Relevansi Larangan Bunga Hari Ini
Meskipun dalam praktik modern bunga uang tidak lagi dianggap haram secara universal dalam tradisi Yahudi dan Kristen, refleksi atas nilai-nilai dasar dari larangan tersebut tetap relevan. Dunia saat ini menghadapi berbagai krisis akibat ketimpangan ekonomi, utang yang mencekik, dan eksploitasi finansial.
Semangat awal dari larangan bunga bukan sekadar larangan teknis, tetapi panggilan untuk menciptakan sistem ekonomi yang adil, manusiawi, dan berkelanjutan. Ajaran Yahudi dan Kristen mengajarkan bahwa kekuatan ekonomi harus disertai dengan belas kasih dan tanggung jawab sosial.
Pemahaman ini menjadi jembatan yang kuat untuk membangun sistem keuangan yang tidak hanya efisien, tetapi juga etis dan inklusif—menempatkan manusia sebagai pusat, bukan sekadar keuntungan.
Jika Anda tertarik untuk mempelajari lebih dalam tentang dunia keuangan dan investasi dengan pendekatan yang etis dan bertanggung jawab, www.didimax.co.id adalah tempat yang tepat untuk memulai. Didimax menawarkan edukasi trading yang komprehensif dan mudah diakses bagi siapa saja yang ingin menguasai pasar secara cerdas dan terarah.
Jangan lewatkan kesempatan untuk bergabung bersama ribuan trader lainnya yang telah mendapatkan manfaat dari program edukasi Didimax. Belajar langsung dari para mentor berpengalaman, kembangkan pengetahuan finansial Anda, dan siapkan diri untuk mencapai kemandirian finansial yang beretika dan profesional. Kunjungi www.didimax.co.id hari ini juga!