Pasar Properti AS Melemah, KPR Mahal Permintaan Turun

Pasar properti di Amerika Serikat saat ini tengah berada dalam tekanan yang signifikan. Setelah beberapa tahun mengalami lonjakan harga yang sangat agresif selama era suku bunga rendah pasca-pandemi, kini sektor ini mulai menunjukkan tanda-tanda pelemahan yang nyata. Salah satu faktor utama yang memicu perlambatan ini adalah tingginya suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang membuat banyak calon pembeli menunda keputusan mereka untuk membeli rumah. Dalam kondisi ini, permintaan terhadap properti mengalami penurunan yang cukup drastis, sementara pasokan tetap terbatas karena para pemilik rumah enggan menjual properti yang mereka beli saat suku bunga rendah.
Suku Bunga Tinggi: Penghambat Utama
Federal Reserve telah menaikkan suku bunga acuan secara agresif sejak tahun 2022 dalam upaya menekan inflasi yang tinggi. Kenaikan ini secara langsung berdampak pada suku bunga KPR, yang kini berada di level tertinggi dalam lebih dari dua dekade. Saat ini, suku bunga rata-rata untuk KPR 30 tahun di AS berada di atas 7%, sebuah angka yang sangat membebani daya beli rumah tangga menengah. Bandingkan dengan masa pandemi, ketika suku bunga KPR sempat turun hingga di bawah 3%, membuat rumah menjadi jauh lebih terjangkau.
Kondisi suku bunga tinggi ini tidak hanya berdampak pada pembeli pertama, tetapi juga mempengaruhi pasar secara keseluruhan. Banyak pemilik rumah yang saat ini menikmati suku bunga rendah memilih untuk tidak menjual rumah mereka karena harus mengambil KPR baru dengan bunga yang jauh lebih tinggi jika membeli rumah lain. Fenomena ini menciptakan semacam kebuntuan di pasar, di mana sedikit rumah yang dijual dan sedikit pula yang dibeli.
Permintaan Menurun, Harga Rumah Stagnan
Data terbaru dari National Association of Realtors (NAR) menunjukkan bahwa penjualan rumah yang telah ada (existing homes) turun hampir 20% secara tahunan pada kuartal kedua 2025. Di beberapa pasar utama seperti California, Texas, dan New York, penurunan bahkan bisa mencapai lebih dari 25%. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan terhadap pasar tidak hanya bersifat regional, tetapi merata di seluruh negeri.
Meskipun permintaan menurun, harga rumah tidak serta-merta turun secara signifikan. Pasalnya, persediaan rumah di pasar tetap terbatas. Beberapa wilayah bahkan masih mencatat kenaikan harga tahunan, meski dalam skala yang jauh lebih kecil dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dengan kata lain, pasar mengalami stagnasi harga: tidak cukup permintaan untuk mendorong harga naik, tetapi juga tidak cukup pasokan untuk membuat harga turun drastis.
Pembangun Rumah Hadapi Tantangan
Para pengembang dan pembangun rumah juga menghadapi situasi yang penuh tantangan. Dengan biaya konstruksi yang tinggi, terutama akibat kenaikan harga material dan upah tenaga kerja, serta menurunnya minat beli dari masyarakat, banyak proyek yang tertunda atau bahkan dibatalkan. Indeks kepercayaan pembangun rumah yang dirilis oleh National Association of Home Builders (NAHB) menunjukkan penurunan yang konsisten sejak awal 2024, dan kini berada pada titik terendah sejak krisis finansial 2008.
Para pembangun juga menghadapi dilema pricing. Jika mereka menetapkan harga jual yang terlalu tinggi, maka properti akan sulit terjual. Namun jika mereka menurunkan harga terlalu agresif, margin keuntungan mereka bisa terkikis atau bahkan rugi. Akibatnya, banyak pengembang memilih untuk menahan stok dan tidak buru-buru melepasnya ke pasar.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Dampak dari pelemahan pasar properti ini tidak hanya dirasakan oleh pelaku pasar itu sendiri, tetapi juga berdampak luas terhadap perekonomian secara keseluruhan. Sektor properti merupakan kontributor besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) AS, dan pelambatan di sektor ini bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, menurunnya transaksi properti juga berarti berkurangnya pendapatan bagi profesi terkait seperti agen real estat, pengacara properti, notaris, serta kontraktor renovasi.
Dari sisi sosial, mahalnya biaya KPR dan keterbatasan pasokan rumah berdampak negatif terhadap generasi muda yang ingin memiliki rumah pertama mereka. Generasi milenial dan Gen Z menjadi kelompok yang paling tertekan, karena mereka harus menghadapi harga rumah yang tinggi bersamaan dengan cicilan bulanan yang memberatkan. Hal ini dapat menunda banyak keputusan hidup penting seperti pernikahan, memiliki anak, atau pindah ke daerah baru untuk mencari peluang kerja.
Sinyal dari Pasar Sewa
Menariknya, pasar sewa justru mengalami peningkatan permintaan. Ketika membeli rumah menjadi terlalu mahal atau terlalu berisiko, banyak orang memilih untuk tetap menyewa. Hal ini menyebabkan harga sewa naik di berbagai kota besar, memberikan tekanan baru pada anggaran rumah tangga. Namun, bagi investor properti yang memiliki rumah sewa, ini justru bisa menjadi peluang. Beberapa investor melihat properti sewa sebagai alternatif investasi yang lebih stabil dalam kondisi suku bunga tinggi.
Apakah Bubble Properti Akan Meletus?
Muncul pertanyaan besar di kalangan analis dan ekonom: apakah pasar properti AS sedang menuju ke arah gelembung (bubble) yang akan meletus seperti tahun 2008? Sebagian besar pengamat menyatakan bahwa kondisi saat ini berbeda secara fundamental. Pada masa sebelum krisis 2008, pasar properti digerakkan oleh kredit yang sangat longgar dan spekulasi tinggi. Saat ini, meskipun harga tinggi dan aktivitas melambat, sistem perbankan jauh lebih ketat dalam memberikan pinjaman, dan rasio kredit terhadap pendapatan juga lebih terkendali.
Namun, tetap ada risiko koreksi harga jika suku bunga tetap tinggi dalam jangka panjang atau jika terjadi resesi ekonomi yang signifikan. Dalam skenario semacam itu, harga rumah bisa mulai turun lebih tajam, terutama di wilayah yang selama ini mengalami kenaikan harga paling tajam.
Apa yang Ditunggu Pasar?
Pasar saat ini menanti dua hal utama: pertama, penurunan suku bunga KPR yang signifikan, dan kedua, peningkatan pasokan rumah. Penurunan suku bunga baru akan terjadi jika inflasi benar-benar terkendali dan The Fed merasa cukup percaya diri untuk melonggarkan kebijakan moneternya. Sementara itu, peningkatan pasokan tergantung pada pemilik rumah yang bersedia menjual dan pengembang yang kembali aktif membangun.
Namun, skenario ideal tersebut tampaknya masih jauh dari jangkauan dalam jangka pendek. Oleh karena itu, pasar properti kemungkinan akan tetap dalam mode "wait and see", dengan volume transaksi yang rendah dan pergerakan harga yang terbatas.
Dalam situasi pasar properti yang tidak menentu seperti saat ini, penting bagi para investor untuk memahami dinamika makroekonomi secara lebih luas. Koneksi antara suku bunga, inflasi, dan kebijakan moneter sangat berpengaruh terhadap keputusan investasi. Begitu pula dengan perubahan siklus ekonomi dan bagaimana pasar keuangan bereaksi terhadap data ekonomi yang dirilis.
Jika Anda tertarik untuk mendalami lebih jauh bagaimana membaca tren pasar, memahami pergerakan harga aset, serta memanfaatkan peluang di tengah gejolak ekonomi global, maka ini saatnya Anda mengikuti program edukasi trading dari Didimax. Di www.didimax.co.id, Anda bisa belajar langsung dari mentor profesional, mendapatkan akses ke analisis pasar terkini, serta mendapatkan panduan langkah demi langkah dalam membangun strategi trading yang adaptif dan efektif.
Dengan pengalaman lebih dari satu dekade di dunia edukasi trading, Didimax siap membantu Anda mengembangkan wawasan keuangan yang lebih dalam dan praktis. Tak hanya untuk kebutuhan jangka pendek, tapi juga sebagai bekal masa depan menghadapi dinamika ekonomi yang terus berubah. Jangan biarkan kondisi pasar yang sulit membuat Anda pasif—jadikan ini momen untuk belajar dan bertumbuh bersama komunitas trader yang suportif dan profesional.