Perang Mata Uang: Kenapa Yuan Masih Tertinggal Jauh?

Dalam peta ekonomi global yang terus berubah, mata uang bukan sekadar alat transaksi, tetapi juga simbol kekuatan geopolitik. Dolar Amerika Serikat (USD) selama puluhan tahun telah menjadi mata uang dominan dalam perdagangan internasional, cadangan devisa, hingga instrumen investasi global. Namun, di tengah pergeseran kekuatan ekonomi dari Barat ke Timur, Tiongkok berusaha menantang dominasi ini dengan Yuan (Renminbi). Meski berbagai strategi telah dilakukan, Yuan tetap tertinggal jauh. Kenapa ini terjadi? Dan apa yang sebenarnya menghambat mata uang Tiongkok menjadi pesaing serius dolar?
Yuan dalam Ambisi Global Tiongkok
Tiongkok adalah kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Dengan PDB yang tumbuh pesat selama tiga dekade terakhir dan peran dominan dalam perdagangan global, banyak yang memperkirakan bahwa Tiongkok akan mampu menjadikan Yuan sebagai mata uang internasional utama. Langkah-langkah strategis pun diambil: mendorong penggunaan Yuan dalam perdagangan bilateral, memperluas program swap mata uang dengan negara mitra, hingga mendirikan sistem pembayaran alternatif seperti CIPS (Cross-Border Interbank Payment System) sebagai tandingan SWIFT.
Namun, meski upaya tersebut gencar dilakukan, posisi Yuan masih terpaut jauh dari dolar AS. Menurut data International Monetary Fund (IMF) pada 2024, USD masih mendominasi sekitar 58% cadangan devisa global, sementara Yuan hanya menguasai sekitar 3%. Angka ini bahkan masih kalah dari euro, yen Jepang, dan poundsterling Inggris.
Hambatan Struktural dan Politik
Salah satu penyebab utama kenapa Yuan tertinggal adalah sistem keuangan dan politik Tiongkok yang belum sepenuhnya terbuka dan transparan. Kepercayaan global terhadap suatu mata uang sangat bergantung pada kestabilan politik, supremasi hukum, dan kebebasan pasar. Dalam hal ini, sistem otoriter Tiongkok yang dikendalikan oleh Partai Komunis dan intervensi pemerintah yang tinggi dalam pasar keuangan menjadi momok bagi investor global.
Yuan masih berada di bawah kontrol ketat pemerintah, terutama melalui kebijakan nilai tukar yang tidak sepenuhnya mengambang bebas. Intervensi bank sentral Tiongkok (PBoC) dalam menentukan nilai tukar membuat pasar global ragu terhadap validitas dan kredibilitas nilai Yuan. Selain itu, kontrol modal (capital control) yang ketat membuat investor dan pelaku bisnis sulit mengakses dan menggunakan Yuan secara bebas.
Transparansi data ekonomi juga menjadi tantangan. Investor internasional membutuhkan kejelasan dan keandalan data ekonomi untuk menilai risiko. Namun, laporan keuangan perusahaan milik negara, statistik pertumbuhan ekonomi, dan data keuangan Tiongkok sering kali diragukan keakuratannya. Hal ini memperburuk persepsi terhadap Yuan sebagai aset yang aman dan kredibel.
Ketergantungan Dunia pada Dolar
Selain faktor internal Tiongkok, dominasi dolar juga disebabkan oleh sistem keuangan global yang telah terbangun selama puluhan tahun. Banyak transaksi perdagangan, utang internasional, hingga harga komoditas seperti minyak dan emas yang menggunakan dolar sebagai standar. Sistem perbankan internasional pun telah lama terintegrasi dengan dolar, dari mulai sistem SWIFT hingga instrumen-instrumen derivatif keuangan.
Bahkan negara-negara yang ingin mengurangi ketergantungan pada dolar pun kesulitan keluar dari sistem ini. Dolar memiliki likuiditas tinggi, pasar modal yang dalam dan efisien (khususnya di Wall Street), serta jaminan perlindungan hukum di bawah sistem hukum Amerika. Semua ini memberikan rasa aman bagi pelaku ekonomi global.
Digitalisasi dan Yuan Digital
Untuk mendobrak dominasi dolar, Tiongkok juga memanfaatkan teknologi digital. Dalam beberapa tahun terakhir, Bank Sentral Tiongkok meluncurkan mata uang digital resmi negara pertama di dunia, e-CNY (Yuan digital). Tujuan dari peluncuran ini adalah memperluas penggunaan Yuan di dalam dan luar negeri dengan efisiensi yang lebih tinggi.
Namun, Yuan digital masih jauh dari menggeser posisi dolar. Pertama, Yuan digital tetap berada di bawah pengawasan ketat pemerintah, yang justru menimbulkan kekhawatiran terkait privasi dan keamanan. Kedua, adopsi global terhadap Yuan digital masih sangat terbatas karena jaringan keuangan internasional belum terintegrasi dengan sistem digital milik Tiongkok. Ketiga, negara-negara Barat tetap enggan membuka pintu terlalu lebar terhadap sistem keuangan Tiongkok karena alasan politik dan keamanan data.
Geopolitik dan Ketegangan Internasional
Faktor geopolitik juga memainkan peran besar dalam membatasi ekspansi Yuan. Hubungan Tiongkok dengan negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, berada dalam titik terendah selama dekade terakhir. Perang dagang, isu hak asasi manusia di Xinjiang dan Hong Kong, serta sengketa wilayah Laut China Selatan menciptakan atmosfer ketidakpercayaan.
Dalam konteks seperti ini, negara-negara sekutu AS lebih memilih tetap bertransaksi dalam dolar ketimbang Yuan. Upaya dedolarisasi oleh negara-negara BRICS memang sedang berlangsung, tetapi fragmentasi politik membuat upaya ini sulit dijalankan secara konsisten. Bahkan sesama anggota BRICS pun tidak sepenuhnya setuju untuk menggunakan Yuan sebagai mata uang bersama.
Prospek Masa Depan: Harapan dan Realita
Meski saat ini Yuan tertinggal, Tiongkok tetap memiliki peluang untuk memperkuat posisinya. Reformasi pasar keuangan, pelonggaran kontrol modal, peningkatan transparansi data ekonomi, serta stabilitas hukum dan politik akan menjadi kunci. Namun, semua ini bertentangan dengan prinsip dasar sistem pemerintahan Tiongkok yang terpusat dan tertutup.
Sebagian analis menilai bahwa dominasi dolar tidak akan tergantikan dalam waktu dekat, tetapi akan terkikis secara perlahan. Dalam skenario optimis, sistem moneter global mungkin bergerak menuju multipolaritas—di mana beberapa mata uang besar seperti euro, yuan, dan dolar bersama-sama mendominasi. Tetapi untuk itu, Yuan harus terlebih dahulu membangun kepercayaan global yang masih sangat kurang saat ini.
Krisis atau guncangan besar dalam sistem keuangan AS dapat mempercepat perpindahan kekuasaan moneter, namun sejauh ini belum ada tanda-tanda melemahnya dominasi dolar secara signifikan. Bahkan dalam krisis global seperti pandemi COVID-19, dolar tetap menjadi pelabuhan aman (safe haven) bagi investor internasional.
Kesimpulan
Perang mata uang bukan hanya soal kekuatan ekonomi, tetapi juga soal kepercayaan, sistem hukum, transparansi, dan stabilitas geopolitik. Tiongkok telah menunjukkan ambisi besar untuk menjadikan Yuan sebagai mata uang internasional, namun hambatan struktural dan politik masih terlalu besar untuk dikalahkan. Tanpa reformasi mendasar, Yuan akan tetap tertinggal jauh dari dolar dan hanya menjadi alat simbolik dalam narasi kebangkitan Tiongkok.
Jika Anda tertarik untuk memahami lebih dalam tentang dinamika pasar mata uang global, termasuk peluang dan risiko dalam trading forex, saatnya Anda bergabung dengan komunitas edukasi yang tepat. Di Didimax, Anda bisa belajar langsung dari para ahli yang berpengalaman, memahami strategi trading yang efektif, serta mengenali faktor geopolitik dan fundamental yang memengaruhi nilai tukar mata uang.
Jangan lewatkan kesempatan untuk mengasah kemampuan finansial Anda melalui program edukasi trading dari Didimax yang terbukti profesional dan terpercaya. Kunjungi situs resmi www.didimax.co.id dan mulai perjalanan finansial Anda hari ini. Perang mata uang terus berlangsung—pastikan Anda berada di pihak yang memahami cara memenangkannya.