Tembok Besar Keuangan: Yuan dan Kendala Aksesibilitas Global

Dalam lanskap keuangan global yang semakin terintegrasi, muncul satu kekuatan ekonomi yang tak bisa diabaikan: Tiongkok. Dengan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa selama beberapa dekade terakhir, Negeri Tirai Bambu telah menjadi pemain utama dalam perdagangan internasional, investasi asing, dan inovasi teknologi finansial. Namun, ketika berbicara mengenai mata uangnya — yuan atau renminbi — Tiongkok menghadapi tantangan besar dalam menjadikan alat pembayaran ini benar-benar global. Berbeda dengan dolar Amerika Serikat (USD) atau euro, yuan belum berhasil menembus “tembok besar” keuangan internasional secara penuh. Artikel ini akan membedah mengapa yuan belum menjadi mata uang global yang sepenuhnya dapat diakses dan digunakan secara luas, serta bagaimana kebijakan internal dan eksternal Tiongkok membentuk kondisi tersebut.
Yuan: Kekuatan yang Terbatasi
Yuan, secara teknis disebut renminbi (RMB), pertama kali diperkenalkan pada tahun 1948. Namun, baru sejak awal tahun 2000-an, pemerintah Tiongkok mulai mendorong internasionalisasi mata uang ini. Tujuannya jelas: mengurangi ketergantungan pada dolar AS dan menempatkan yuan sebagai simbol kekuatan ekonomi Tiongkok di panggung dunia.
Sayangnya, langkah tersebut tidak berjalan semulus yang diharapkan. Yuan memang telah masuk dalam keranjang Special Drawing Rights (SDR) IMF sejak 2016, berdampingan dengan dolar, euro, yen, dan pound sterling. Namun, dalam praktiknya, penggunaannya dalam transaksi lintas negara masih sangat terbatas. Menurut laporan dari SWIFT pada 2024, hanya sekitar 2,2% transaksi pembayaran global yang menggunakan yuan — bandingkan dengan lebih dari 40% untuk dolar AS.
Hal ini menunjukkan adanya kendala besar dalam aksesibilitas yuan secara global. Salah satu faktor utama adalah kontrol ketat pemerintah Tiongkok terhadap aliran modal dan kebijakan nilai tukar yang tidak sepenuhnya mengambang. Meskipun Tiongkok membuka beberapa jalur investasi asing seperti program QFII (Qualified Foreign Institutional Investor) dan Stock Connect, kebijakan ini masih berada dalam pengawasan ketat dan penuh dengan restriksi administratif.
Tembok Regulasi dan Isolasi Finansial
Salah satu alasan utama sulitnya yuan bersaing di pasar global adalah sistem keuangan Tiongkok yang semi-terisolasi. Pemerintah Tiongkok mempraktikkan kontrol modal yang sangat kuat, yang bertujuan menjaga stabilitas ekonomi domestik dan menghindari volatilitas yang disebabkan oleh aliran modal spekulatif. Namun, di sisi lain, kebijakan ini menimbulkan paradoks: Tiongkok ingin yuan menjadi mata uang global, tetapi tetap tidak mau melepaskan kontrol penuh atas pergerakan modal.
Berbeda dengan Amerika Serikat yang membiarkan dolar bebas mengalir dan diperdagangkan secara luas, Tiongkok masih membatasi konvertibilitas penuh yuan untuk transaksi modal. Hal ini menyebabkan rendahnya kepercayaan pelaku pasar global terhadap kemampuan yuan sebagai alat lindung nilai atau penyimpan nilai jangka panjang.
Lebih dari itu, kurangnya transparansi dan ketidakpastian kebijakan menjadi hambatan besar. Investor asing sering kali merasa enggan karena takut menghadapi perubahan regulasi mendadak, intervensi pasar yang tidak terduga, atau bahkan repatriasi dana yang sulit. Kepercayaan pasar internasional terhadap sistem hukum dan hak kepemilikan di Tiongkok juga masih menjadi tantangan besar yang menghambat akseptabilitas yuan.
Yuan Digital: Harapan Baru atau Alat Kontrol?
Dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok menjadi negara pertama yang secara serius mengembangkan Central Bank Digital Currency (CBDC) dalam bentuk e-CNY atau yuan digital. Ini adalah langkah ambisius yang digadang-gadang sebagai lompatan besar untuk mengatasi hambatan teknis dan politik dalam internasionalisasi yuan. Yuan digital memungkinkan transaksi lintas negara yang lebih cepat, murah, dan mudah dikontrol oleh pemerintah pusat.
Namun, teknologi ini juga mengundang kekhawatiran. Banyak negara dan lembaga internasional melihat yuan digital bukan hanya sebagai alat pembayaran, tetapi juga alat kontrol yang lebih kuat terhadap aktivitas keuangan warganya — baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam dunia yang semakin memperjuangkan privasi digital, adopsi yuan digital di tingkat global masih menemui jalan terjal.
Selain itu, yuan digital belum memiliki jaringan internasional yang luas. Meskipun Tiongkok menjalin kemitraan dengan negara-negara seperti Rusia, Iran, dan beberapa negara berkembang lainnya, sebagian besar mitra dagang utama Tiongkok, seperti Eropa dan Amerika Utara, masih enggan mengadopsi sistem pembayaran berbasis e-CNY.
Dolarisasi Dunia: Saingan yang Sulit Dikalahkan
Di balik semua upaya Tiongkok untuk mengangkat status yuan, terdapat satu fakta tak terbantahkan: dominasi dolar AS masih terlalu kuat. Dolar tidak hanya digunakan dalam perdagangan global, tetapi juga menjadi mata uang cadangan utama bagi sebagian besar bank sentral di dunia. Infrastruktur keuangan internasional — mulai dari sistem pembayaran hingga perbankan koresponden — masih sangat bergantung pada dolar.
Salah satu keunggulan dolar adalah stabilitas dan kedalaman pasar keuangannya. Obligasi pemerintah AS dianggap sebagai aset paling aman di dunia. Pasar modal AS terbuka, likuid, dan diatur oleh sistem hukum yang relatif transparan dan dapat diandalkan. Ini semua menciptakan ekosistem keuangan yang sulit ditandingi oleh Tiongkok, setidaknya dalam jangka pendek hingga menengah.
Peran Politik dan Strategi Geopolitik
Selain aspek teknis dan ekonomi, isu aksesibilitas yuan juga sangat dipengaruhi oleh dinamika politik dan strategi geopolitik. Banyak negara barat masih melihat yuan dengan kacamata curiga, karena dipandang sebagai alat ekspansi pengaruh Tiongkok. Ketegangan dagang antara AS dan Tiongkok, konflik di Laut China Selatan, serta isu pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang menjadi faktor-faktor yang membuat negara-negara demokratis lebih berhati-hati dalam menerima yuan sebagai bagian dari sistem keuangan mereka.
Di sisi lain, Tiongkok mencoba memperkuat pengaruhnya lewat inisiatif seperti Belt and Road Initiative (BRI), yang mendorong penggunaan yuan dalam proyek-proyek infrastruktur besar di Asia, Afrika, dan Eropa Timur. Namun, penerimaan negara-negara mitra terhadap penggunaan yuan dalam proyek-proyek ini masih bervariasi dan cenderung pragmatis.
Masa Depan Yuan di Dunia yang Terkoneksi
Masa depan yuan sebagai mata uang global bergantung pada banyak faktor: keterbukaan pasar keuangan Tiongkok, kepercayaan investor global, kestabilan politik domestik, serta kemauan pemerintah Tiongkok untuk melepas sebagian kontrol. Internasionalisasi yuan bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal reputasi dan kredibilitas.
Saat ini, yuan masih berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ia memiliki potensi besar: didukung oleh ekonomi terbesar kedua di dunia, teknologi finansial yang maju, dan cadangan devisa raksasa. Namun di sisi lain, ia masih terkungkung dalam batasan sistemik yang diciptakan oleh kebijakan dalam negeri yang ketat dan ketidaksiapan dunia menerima perubahan besar.
Jika Tiongkok serius ingin menjadikan yuan sebagai pesaing utama dolar, maka dibutuhkan reformasi mendalam, bukan hanya dalam bidang keuangan, tetapi juga dalam aspek hukum, transparansi, dan tata kelola. Tanpa itu, yuan akan tetap menjadi mata uang yang kuat secara lokal, tetapi lemah secara global — sebuah "tembok besar keuangan" yang belum mampu ditembus sepenuhnya.
Ingin memahami lebih jauh bagaimana dinamika global ini bisa memengaruhi aktivitas trading Anda? Atau ingin belajar bagaimana memanfaatkan peluang dari pergerakan mata uang dunia seperti yuan dan dolar? Kini saatnya Anda meningkatkan pengetahuan dan keterampilan Anda di dunia trading bersama platform edukasi terbaik.
Bergabunglah bersama www.didimax.co.id, tempat belajar trading terpercaya yang menyediakan pelatihan, edukasi, dan bimbingan langsung dari para mentor profesional. Tidak hanya teori, tapi juga strategi nyata dan pengalaman pasar yang akan mempersiapkan Anda menghadapi tantangan finansial global. Kunjungi situs kami sekarang dan mulai perjalanan finansial Anda bersama Didimax!