Pusat Edukasi

Rumah Pusat Edukasi Belajar Forex Pusat Edukasi Gratis U.S. Dollar Collapse Sparks Rate Cut Hopes

U.S. Dollar Collapse Sparks Rate Cut Hopes

by Iqbal

U.S. Dollar Collapse Sparks Rate Cut Hopes

Kabar tentang melemahnya nilai tukar dolar Amerika Serikat (U.S. dollar) terus menjadi sorotan utama pasar keuangan global. Dalam beberapa bulan terakhir, greenback — julukan lain untuk mata uang AS — mengalami penurunan signifikan terhadap sejumlah mata uang utama dunia, termasuk euro, yen Jepang, dan yuan Tiongkok. Penurunan ini memicu berbagai spekulasi di kalangan pelaku pasar dan analis, termasuk meningkatnya harapan bahwa Federal Reserve (The Fed) akan segera mengambil langkah pelonggaran kebijakan moneter melalui pemangkasan suku bunga.

Dolar AS selama beberapa dekade terakhir menjadi simbol kekuatan ekonomi Amerika dan standar utama dalam perdagangan internasional. Namun, sejak awal tahun 2025, nilai dolar menunjukkan tanda-tanda kelemahan yang mengkhawatirkan. Melemahnya data ekonomi domestik AS, peningkatan beban utang pemerintah, serta perubahan arah kebijakan moneter global menjadi beberapa faktor utama yang menekan nilai dolar. Selain itu, ketegangan geopolitik dan meningkatnya persaingan mata uang digital seperti yuan digital dan euro digital turut mempercepat erosi kepercayaan terhadap dolar sebagai cadangan devisa utama dunia.

Faktor Penyebab Keruntuhan Dolar

Ada sejumlah alasan mengapa dolar mengalami tekanan berat di pasar global. Pertama, indikator ekonomi AS menunjukkan perlambatan yang konsisten. Data pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami revisi turun, sementara inflasi yang sebelumnya melonjak kini mulai melandai, memberi sinyal bahwa tekanan harga tidak lagi menjadi isu utama yang harus ditangani dengan suku bunga tinggi.

Kedua, utang nasional AS yang telah menembus angka $35 triliun menjadi perhatian besar. Investor global semakin khawatir dengan sustainability (keberlanjutan) fiskal AS, terutama dengan meningkatnya biaya pembayaran bunga utang. Kondisi ini melemahkan daya tarik obligasi pemerintah AS (Treasury) sebagai instrumen investasi yang aman, yang pada gilirannya melemahkan permintaan terhadap dolar.

Ketiga, ada perubahan besar dalam dinamika kebijakan global. Bank sentral di berbagai negara mulai melonggarkan kebijakan moneter mereka lebih cepat dari yang diperkirakan. Bank Sentral Eropa (ECB), Bank of Japan (BoJ), dan bahkan Bank Rakyat Tiongkok (PBOC) mulai mengambil langkah akomodatif yang membuat mata uang mereka menguat terhadap dolar.

Harapan Terhadap Pemangkasan Suku Bunga

Dalam konteks pelemahan dolar, perhatian kini tertuju pada langkah The Fed berikutnya. Sejak pertengahan 2022 hingga akhir 2024, The Fed telah menaikkan suku bunga secara agresif dalam rangka menjinakkan inflasi. Namun, dengan tanda-tanda melambatnya tekanan harga dan meningkatnya risiko resesi, pasar mulai memperkirakan bahwa The Fed akan berbalik arah.

Pelaku pasar uang telah memperhitungkan kemungkinan besar bahwa The Fed akan memangkas suku bunga sebanyak dua hingga tiga kali dalam paruh kedua 2025. Harapan ini didorong oleh sinyal-sinyal dovish dari beberapa pejabat The Fed, serta pernyataan Chairman Jerome Powell yang mengakui adanya "kebutuhan untuk menilai kembali stance kebijakan moneter dalam konteks data ekonomi terbaru."

Pemangkasan suku bunga akan memberi likuiditas tambahan ke pasar, memperkuat sektor korporasi, dan mendukung aktivitas konsumen. Namun, secara simultan, hal itu juga akan melemahkan nilai tukar dolar lebih lanjut. Investor cenderung menghindari mata uang dengan yield rendah, dan penurunan suku bunga otomatis menurunkan imbal hasil dari instrumen dolar.

Reaksi Pasar Global

Respons pasar global terhadap kemungkinan pemangkasan suku bunga di AS terlihat nyata. Indeks saham utama di Wall Street mengalami reli signifikan, terutama sektor teknologi dan properti yang sangat sensitif terhadap perubahan suku bunga. Imbal hasil obligasi jangka panjang AS menurun, mencerminkan ekspektasi bahwa suku bunga akan berada di level yang lebih rendah dalam waktu dekat.

Sementara itu, harga emas dan komoditas lain melonjak karena investor mencari aset lindung nilai terhadap depresiasi dolar. Emas bahkan mencapai level tertingginya sepanjang sejarah di atas $2.400 per ons. Minyak mentah dan logam industri juga mencatatkan kenaikan harga seiring dengan ekspektasi stimulus fiskal dan moneter di AS.

Di pasar forex, euro, poundsterling, dan yen mencatatkan penguatan signifikan terhadap dolar. Di sisi Asia, mata uang seperti yuan Tiongkok, won Korea Selatan, dan rupiah Indonesia juga mendapatkan dorongan dari arus modal masuk dan ekspektasi kebijakan moneter yang lebih longgar di AS.

Risiko Jangka Panjang

Meskipun pelemahan dolar bisa memberikan angin segar bagi sektor ekspor dan meningkatkan daya saing produk AS di pasar internasional, risiko jangka panjang tetap mengintai. Kepercayaan global terhadap dolar sebagai mata uang cadangan dapat terkikis jika tren ini berlanjut tanpa ada tindakan korektif yang nyata.

Selain itu, kemungkinan meningkatnya volatilitas di pasar obligasi AS dan turunnya permintaan terhadap Treasury bisa mengganggu stabilitas fiskal dan memicu krisis kepercayaan. Situasi ini sangat mirip dengan fenomena “taper tantrum” tahun 2013, di mana penurunan minat investor terhadap obligasi AS menyebabkan gejolak di pasar negara berkembang dan meningkatkan ketidakpastian global.

Dampak lain yang mungkin muncul adalah migrasi sebagian besar cadangan devisa global ke aset-aset non-dolar, termasuk emas, kripto, dan mata uang lainnya. Jika tren ini menjadi permanen, dominasi dolar sebagai pilar sistem moneter internasional dapat mulai runtuh, yang akan merombak lanskap keuangan global secara fundamental.

Strategi Investor Menghadapi Situasi Ini

Bagi para investor dan trader, situasi ini menciptakan peluang sekaligus tantangan. Pelemahan dolar memberikan peluang arbitrase di pasar forex, tetapi juga mengharuskan investor untuk menyesuaikan portofolio mereka secara aktif. Diversifikasi menjadi kunci utama — baik dalam bentuk aset, wilayah geografis, maupun mata uang.

Trader jangka pendek dapat memanfaatkan volatilitas mata uang utama dan komoditas untuk mencari keuntungan melalui strategi scalping dan swing trading. Sementara itu, investor jangka panjang disarankan untuk memperhatikan arah kebijakan The Fed dan menyusun strategi hedging yang kuat untuk melindungi nilai investasi mereka.

Dalam menghadapi ketidakpastian seperti ini, pemahaman terhadap analisis fundamental, teknikal, dan sentimen pasar menjadi keterampilan yang sangat vital. Edukasi berkelanjutan menjadi kunci untuk tetap kompetitif dan tidak mudah terombang-ambing oleh berita-berita yang berseliweran.

Jika Anda ingin memahami lebih dalam tentang bagaimana memanfaatkan momen seperti ini dalam trading forex, sekarang adalah waktu yang tepat untuk mulai belajar bersama para ahli. Bergabunglah dalam program edukasi trading dari Didimax, yang telah terbukti membantu ribuan trader Indonesia mengembangkan kemampuan mereka dari dasar hingga mahir.

Program edukasi trading di www.didimax.co.id tidak hanya memberikan materi pembelajaran yang komprehensif, tetapi juga menghadirkan mentor berpengalaman yang siap membimbing Anda langsung. Dengan sistem pembelajaran interaktif dan strategi real-time, Anda akan memiliki bekal yang kuat untuk menghadapi dinamika pasar global secara cerdas dan percaya diri.