Apakah Perang Dagang AS-China Sudah Berakhir atau Hanya Mereda Sementara?

Selama lebih dari satu dekade terakhir, hubungan ekonomi antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok telah mengalami naik-turun yang cukup tajam, dan dalam beberapa tahun terakhir konflik ini mencapai puncaknya dalam bentuk perang dagang yang menggemparkan dunia. Dimulai pada tahun 2018 di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, perang dagang antara dua ekonomi terbesar di dunia ini menimbulkan ketegangan global, memengaruhi pasar keuangan, rantai pasok internasional, dan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Namun, seiring waktu, tensi tersebut tampaknya mereda. AS dan Tiongkok telah mengadakan beberapa putaran negosiasi, menandatangani kesepakatan sementara (Phase One Deal), dan tampak mencoba menjaga stabilitas perdagangan bilateral. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah perang dagang ini benar-benar telah berakhir, atau hanya mereda sementara?
Latar Belakang Perang Dagang AS-China
Perang dagang ini dipicu oleh ketidakseimbangan neraca perdagangan yang sangat besar antara AS dan Tiongkok. Pemerintah AS menuduh Tiongkok melakukan praktik perdagangan tidak adil, termasuk subsidi besar-besaran kepada perusahaan domestik, pencurian kekayaan intelektual, serta pemaksaan transfer teknologi kepada perusahaan asing.
Sebagai respons, AS mulai memberlakukan tarif impor terhadap barang-barang asal Tiongkok senilai ratusan miliar dolar. Tiongkok pun tidak tinggal diam. Mereka membalas dengan tarif serupa terhadap barang-barang dari AS. Akibatnya, banyak sektor ekonomi yang terdampak, termasuk pertanian, teknologi, dan manufaktur.
Meredanya Ketegangan: Kesepakatan Sementara dan Upaya Diplomasi
Pada Januari 2020, kedua negara menandatangani kesepakatan perdagangan fase pertama (Phase One Trade Deal) yang berisi komitmen Tiongkok untuk meningkatkan impor barang AS senilai $200 miliar dalam dua tahun. Selain itu, Tiongkok juga sepakat untuk meningkatkan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual serta membuka akses pasar keuangan bagi perusahaan-perusahaan AS.
Namun, pencapaian dari kesepakatan ini masih diperdebatkan. Pandemi COVID-19 yang muncul tidak lama setelah penandatanganan kesepakatan menyebabkan perlambatan global yang membuat banyak target ekonomi menjadi tidak realistis. Tiongkok gagal memenuhi sebagian besar komitmen impornya dalam kesepakatan tersebut, dan retorika keras dari kedua belah pihak tetap berlangsung, meskipun dengan intensitas yang lebih rendah.
Di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden, pendekatan terhadap Tiongkok menjadi sedikit lebih diplomatis, tetapi tetap mempertahankan sebagian besar kebijakan tarif yang diberlakukan oleh pendahulunya. Biden juga berfokus pada pembentukan aliansi strategis dengan negara-negara sekutu guna menanggapi kekuatan ekonomi dan geopolitik Tiongkok yang semakin besar.
Dinamika Baru: Teknologi, Keamanan Nasional, dan Dominasi Global
Meski perang tarif mereda, konflik antara AS dan Tiongkok bertransformasi ke medan perang yang berbeda: teknologi. AS mulai membatasi akses perusahaan Tiongkok ke teknologi penting seperti semikonduktor dan software kecerdasan buatan. Huawei dan TikTok adalah dua contoh perusahaan yang menjadi korban pembatasan tersebut. Pemerintah AS mengklaim bahwa langkah-langkah ini diambil demi melindungi keamanan nasional dari ancaman spionase dan dominasi Tiongkok dalam teknologi masa depan.
Tiongkok, di sisi lain, mempercepat program substitusi impor dan mendorong kemandirian teknologinya melalui program "Made in China 2025". Ini menunjukkan bahwa meskipun ketegangan tarif menurun, konflik strategis antara dua negara ini masih sangat hidup dan bahkan berkembang ke sektor-sektor vital yang lebih sensitif.
Pengaruh Global dan Dampaknya ke Pasar
Ketegangan antara AS dan Tiongkok telah menciptakan ketidakpastian besar di pasar global. Investor cenderung bersikap hati-hati ketika hubungan kedua negara memburuk. Fluktuasi di pasar saham, komoditas, dan mata uang sering kali terkait langsung dengan dinamika hubungan kedua negara tersebut.
Di Indonesia, perang dagang ini berdampak ganda. Di satu sisi, ekspor Indonesia ke Tiongkok meningkat karena Tiongkok mencari alternatif pasokan dari negara-negara lain akibat pembatasan dari AS. Namun di sisi lain, ketidakpastian global dan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia juga memukul kinerja ekspor dan menekan nilai tukar rupiah.
Investor dan trader di pasar forex dan komoditas perlu sangat memperhatikan perkembangan hubungan dagang AS-Tiongkok. Sinyal-sinyal diplomasi, kebijakan tarif baru, atau bahkan kebijakan teknologi seperti pelarangan chip bisa berdampak besar terhadap arah pasar dalam jangka pendek hingga menengah.
Apakah Perang Dagang Sudah Berakhir?
Menjawab pertanyaan ini bukanlah hal yang mudah. Secara teknis, eskalasi perang tarif memang sudah mereda. Tidak ada lagi gelombang tarif baru seperti yang terjadi pada 2018–2019. Namun, inti dari konflik ini jauh lebih dalam dari sekadar ketidakseimbangan perdagangan.
Persaingan AS dan Tiongkok kini lebih bersifat struktural dan ideologis—antara dua sistem ekonomi dan politik yang sangat berbeda. AS ingin mempertahankan dominasinya sebagai kekuatan ekonomi dan teknologi global, sementara Tiongkok ingin memperkuat pengaruhnya sebagai kekuatan tandingan.
Bahkan banyak analis menyebut hubungan kedua negara telah memasuki era decoupling—yaitu pemisahan ekonomi secara sistematis di bidang-bidang strategis seperti teknologi, data, pertahanan, dan bahkan pendidikan. Ini menunjukkan bahwa perang dagang mungkin telah mereda dari sisi taktik, tetapi secara strategis masih jauh dari kata selesai.
Tantangan dan Peluang di Masa Depan
Ke depan, hubungan AS dan Tiongkok akan terus membentuk lanskap ekonomi global. Ketegangan bisa sewaktu-waktu meningkat, terutama jika muncul isu-isu baru seperti Taiwan, Laut China Selatan, atau pelanggaran siber. Setiap ketegangan baru dapat memicu reaksi pasar yang drastis.
Namun di tengah ketidakpastian itu, peluang tetap terbuka. Para trader yang memiliki pengetahuan dan strategi yang baik justru bisa mendapatkan keuntungan dari volatilitas pasar yang dipicu oleh konflik geopolitik. Oleh karena itu, pemahaman yang kuat terhadap dinamika global adalah kunci untuk mengambil keputusan trading yang cerdas.
Di saat banyak orang masih bingung membaca arah pasar, para trader yang memiliki pengetahuan tentang hubungan geopolitik dan dampaknya terhadap ekonomi makro bisa membaca peluang lebih awal. Informasi adalah kekuatan, dan dalam dunia trading, kecepatan mengambil keputusan berdasarkan analisis yang tepat adalah segalanya.
Bagi Anda yang ingin meningkatkan pemahaman tentang bagaimana isu-isu global seperti perang dagang AS-China memengaruhi pasar dan peluang trading, kini saatnya untuk mengambil langkah nyata. Bergabunglah dalam program edukasi trading di www.didimax.co.id, tempat Anda bisa belajar langsung dari para profesional dan praktisi pasar berpengalaman. Didimax memberikan pelatihan gratis dan fasilitas lengkap bagi Anda yang ingin serius mengembangkan kemampuan trading di pasar forex.
Jangan biarkan ketidakpastian global menjadi penghalang kesuksesan Anda. Jadikan momen-momen krisis sebagai peluang dengan membekali diri melalui program edukasi trading terbaik di Indonesia. Klik sekarang dan mulai perjalanan trading Anda bersama Didimax!