
De-dollarisation Could Speed Up with US Isolationist Policies, Analysts Say
Dalam beberapa tahun terakhir, konsep de-dolarisasi semakin banyak diperbincangkan oleh ekonom, pelaku pasar, dan analis geopolitik di seluruh dunia. Istilah ini merujuk pada upaya negara-negara untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap dolar Amerika Serikat (USD) dalam perdagangan internasional, cadangan devisa, dan sistem pembayaran global. Kini, dengan meningkatnya kecenderungan kebijakan isolasionis dari Amerika Serikat—terutama dalam hal perdagangan, kebijakan luar negeri, dan sanksi finansial—para analis meyakini bahwa proses de-dolarisasi bisa semakin cepat terjadi.
Kebijakan isolasionis mengacu pada pendekatan di mana suatu negara memilih untuk meminimalkan keterlibatannya dalam urusan internasional demi fokus pada kepentingan domestik. Dalam konteks AS, ini sering terlihat dari penarikan diri dari perjanjian perdagangan multilateral, penerapan tarif tinggi terhadap mitra dagang, serta penggunaan dolar sebagai senjata geopolitik melalui sanksi ekonomi. Meski strategi ini mungkin bertujuan untuk melindungi industri dan pekerja dalam negeri, dampaknya terhadap sistem moneter global tidak bisa diabaikan.
Dolar AS: Raja dalam Sistem Keuangan Global
Sejak Perjanjian Bretton Woods pasca Perang Dunia II, dolar telah menjadi mata uang cadangan utama dunia. Lebih dari 60% cadangan devisa global disimpan dalam bentuk dolar, dan sebagian besar transaksi perdagangan internasional—termasuk minyak mentah, logam mulia, dan komoditas strategis lainnya—juga dilakukan dalam mata uang ini. Selain itu, sistem pembayaran global seperti SWIFT secara dominan menggunakan dolar sebagai unit transaksi.
Namun, dominasi ini juga menjadikan negara lain sangat rentan terhadap kebijakan ekonomi dan politik Amerika Serikat. Ketika AS menerapkan sanksi terhadap negara seperti Rusia, Iran, atau Venezuela, efeknya bisa sangat merugikan bagi ekonomi mereka. Akibatnya, banyak negara mulai mencari alternatif agar tidak terlalu bergantung pada dolar dan sistem yang dikendalikan oleh Washington.
Isolationisme Amerika dan Efek Domino terhadap De-dolarisasi
Dalam beberapa tahun terakhir, kecenderungan Amerika untuk menarik diri dari tatanan global semakin kuat. Pemerintahan sebelumnya menarik diri dari berbagai kesepakatan penting seperti Trans-Pacific Partnership (TPP), Paris Climate Accord, dan Iran Nuclear Deal (JCPOA). Selain itu, sanksi unilateral yang diterapkan terhadap sejumlah negara telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan negara berkembang maupun maju.
Banyak negara melihat kecenderungan ini sebagai sinyal bahwa sistem keuangan global yang sangat tergantung pada dolar tidak lagi bisa dianggap stabil atau netral. Alih-alih bergantung pada mata uang yang terpapar oleh kebijakan domestik AS, mereka mulai melakukan diversifikasi cadangan devisa ke mata uang lain seperti euro, yuan, bahkan emas.
Sebagai contoh, China dan Rusia telah memperkuat kerja sama bilateral mereka dengan menggunakan mata uang lokal dalam perdagangan energi. Langkah ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang untuk melepas ketergantungan dari dolar dan menciptakan sistem keuangan alternatif.
Tren Global Menuju Diversifikasi Moneter
Analis memperkirakan bahwa tren ini akan terus berkembang. Negara-negara anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) bahkan telah mengusulkan penciptaan sistem pembayaran sendiri yang tidak melibatkan dolar. Selain itu, beberapa negara telah menandatangani perjanjian swap mata uang bilateral guna mendukung perdagangan lintas batas tanpa perantara dolar.
Di Timur Tengah, Arab Saudi dan beberapa negara OPEC lainnya mulai membuka opsi pembayaran dalam mata uang selain dolar, terutama untuk ekspor minyak. Langkah ini merupakan perubahan besar mengingat “petrodollar” telah menjadi landasan dominasi dolar sejak tahun 1970-an.
Sementara itu, Bank Sentral di berbagai negara juga mulai menambah cadangan emas mereka, mengindikasikan keengganan untuk terlalu menggantungkan diri pada USD. Bahkan IMF mencatat peningkatan jumlah negara yang menyimpan cadangan dalam bentuk yuan China, yang kini menjadi bagian dari Special Drawing Rights (SDR) bersama dolar, euro, yen, dan pound sterling.
Risiko dan Tantangan De-dolarisasi
Meski de-dolarisasi tampak seperti langkah strategis yang masuk akal, proses ini tidak tanpa risiko. Menggeser sistem moneter global dari satu mata uang dominan ke struktur multipolar memerlukan waktu, kepercayaan, dan infrastruktur keuangan yang memadai. Banyak negara masih merasa bahwa dolar adalah instrumen yang paling likuid, stabil, dan diterima secara luas.
Selain itu, ketergantungan pasar keuangan global terhadap obligasi AS, khususnya Treasury Bonds, masih sangat besar. Institusi keuangan besar seperti IMF, Bank Dunia, dan banyak dana pensiun di seluruh dunia tetap menyimpan sebagian besar investasinya dalam bentuk surat utang pemerintah AS.
Namun, dinamika geopolitik yang terus berubah bisa mempercepat proses ini. Jika Amerika Serikat terus melanjutkan kebijakan proteksionis dan isolasionisnya, maka kepercayaan global terhadap netralitas dan keamanan dolar bisa semakin terkikis.
Peran Teknologi dan Mata Uang Digital
Satu aspek yang kerap luput dalam diskusi de-dolarisasi adalah peran teknologi keuangan dan mata uang digital. Negara-negara seperti China telah meluncurkan mata uang digital bank sentral mereka (CBDC), yaitu digital yuan, sebagai bagian dari strategi untuk menciptakan sistem pembayaran yang lebih independen dari dolar.
Jika adopsi mata uang digital ini terus meluas, terutama untuk transaksi lintas negara, maka dominasi dolar bisa menghadapi tantangan serius. Misalnya, digital yuan dapat digunakan oleh negara mitra China untuk transaksi perdagangan tanpa harus melalui sistem SWIFT atau bank koresponden berbasis dolar.
Selain itu, munculnya teknologi blockchain dan stablecoin berbasis non-dolar juga membuka peluang bagi sistem pembayaran lintas batas yang lebih inklusif dan netral secara geopolitik.
Dampak bagi Pasar Keuangan Global dan Investor

Percepatan de-dolarisasi akan membawa implikasi signifikan bagi pasar keuangan global. Nilai tukar dolar bisa menjadi lebih volatil, yield obligasi AS dapat terdampak jika permintaan terhadap Treasury berkurang, dan investor global akan lebih berhati-hati dalam alokasi portofolio mereka.
Bagi para trader dan investor ritel, dinamika ini membuka peluang sekaligus tantangan. Perubahan pola arus modal global dapat menciptakan volatilitas yang lebih tinggi di pasar forex, komoditas, maupun saham. Oleh karena itu, penting untuk memahami lanskap geopolitik dan kebijakan moneter global secara lebih mendalam agar dapat mengambil keputusan investasi yang tepat.
Untuk para trader yang ingin meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam menghadapi tantangan de-dolarisasi dan dinamika pasar global, penting untuk memiliki akses terhadap edukasi yang terstruktur dan terpercaya. Melalui program edukasi trading di www.didimax.co.id, Anda akan mendapatkan pembelajaran yang komprehensif mengenai analisa fundamental, teknikal, hingga strategi menghadapi perubahan besar di pasar keuangan.
Jangan lewatkan kesempatan untuk belajar langsung dari mentor berpengalaman yang telah terbukti sukses di industri trading. Baik Anda pemula maupun trader profesional, program edukasi dari Didimax akan membantu Anda memahami dampak geopolitik terhadap pasar dan memanfaatkan peluang dengan lebih optimal. Kunjungi www.didimax.co.id sekarang juga dan mulai perjalanan Anda menjadi trader yang lebih cerdas dan siap menghadapi perubahan global.