Pusat Edukasi

Rumah Pusat Edukasi Belajar Forex Pusat Edukasi Gratis Studi Kasus: Pengaruh Perang Dagang AS vs China terhadap Nilai Tukar Mata Uang

Studi Kasus: Pengaruh Perang Dagang AS vs China terhadap Nilai Tukar Mata Uang

by Rizka

Studi Kasus: Pengaruh Perang Dagang AS vs China terhadap Nilai Tukar Mata Uang

Perang dagang antara Amerika Serikat dan China telah menjadi salah satu konflik ekonomi terbesar dalam sejarah modern. Dimulai sejak tahun 2018, ketegangan antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia ini tidak hanya berdampak pada sektor perdagangan dan industri, tetapi juga memberikan efek yang signifikan terhadap pasar keuangan global, termasuk nilai tukar mata uang. Studi kasus ini akan mengupas secara mendalam bagaimana perang dagang ini mempengaruhi fluktuasi mata uang utama, khususnya Dolar AS (USD) dan Yuan China (CNY), serta mata uang negara berkembang seperti Rupiah Indonesia (IDR).

Latar Belakang Perang Dagang

Perang dagang bermula saat pemerintahan Presiden Donald Trump memberlakukan tarif impor terhadap barang-barang dari China sebagai bentuk tekanan untuk menekan defisit perdagangan dan melindungi industri dalam negeri. China pun merespon dengan kebijakan serupa terhadap produk-produk asal Amerika. Ketegangan meningkat seiring berjalannya waktu, dengan tarif yang saling dinaikkan oleh kedua negara. Tak hanya berdampak pada neraca perdagangan, kebijakan ini juga membuat investor global gelisah, memicu volatilitas pasar, dan secara langsung mempengaruhi pergerakan nilai tukar mata uang.

Dampak terhadap Dolar AS (USD)

Dalam kondisi geopolitik seperti perang dagang, Dolar AS sering dianggap sebagai mata uang safe haven — aset yang dicari investor ketika ketidakpastian meningkat. Selama perang dagang berlangsung, banyak investor global yang mengalihkan investasinya ke Dolar AS untuk menghindari risiko yang tinggi di pasar negara berkembang. Akibatnya, Dolar mengalami penguatan signifikan terhadap banyak mata uang dunia.

Namun, penguatan Dolar ini tidak selalu berdampak positif bagi ekonomi AS. Ekspor AS menjadi lebih mahal bagi negara lain, yang pada akhirnya dapat menurunkan daya saing produk-produk AS di pasar global. Selain itu, kebijakan suku bunga The Fed dan intervensi verbal dari pemerintah AS juga turut mewarnai fluktuasi nilai tukar.

Dampak terhadap Yuan China (CNY)

Sebagai pihak yang dikenai tarif tinggi, China mengambil beberapa langkah untuk merespons dampak ekonomi domestik. Salah satu strategi yang dilakukan adalah membiarkan nilai tukar Yuan melemah terhadap Dolar. Dengan melemahnya Yuan, produk ekspor China menjadi lebih murah dan kompetitif di pasar internasional, sehingga diharapkan dapat mengurangi dampak tarif dari AS.

Namun, pelemahan ini juga membuat investor asing semakin khawatir terhadap stabilitas ekonomi China. Pada Agustus 2019, Bank Sentral China (PBOC) membiarkan Yuan menembus ambang psikologis 7 CNY per USD, pertama kali dalam lebih dari satu dekade. Langkah ini memicu ketegangan lanjutan di pasar keuangan dan sempat menyebabkan koreksi tajam di pasar saham global.

Dampak terhadap Mata Uang Negara Berkembang

Negara-negara berkembang seperti Indonesia turut merasakan dampak dari perang dagang ini. Ketika investor global beralih ke aset yang lebih aman seperti Dolar AS, aliran dana keluar dari pasar negara berkembang meningkat. Akibatnya, nilai tukar Rupiah (IDR) dan mata uang negara berkembang lainnya mengalami tekanan yang cukup berat.

Rupiah sempat melemah hingga menyentuh level di atas Rp15.000 per USD di masa-masa puncak ketegangan perang dagang. Hal ini diperburuk dengan naiknya harga komoditas impor dan meningkatnya inflasi di dalam negeri. Bank Indonesia pun terpaksa melakukan intervensi di pasar valuta asing dan menaikkan suku bunga acuan untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan menahan laju inflasi.

Dampak Jangka Panjang terhadap Pasar Valuta Asing

Perang dagang antara AS dan China memberikan pelajaran penting bagi para pelaku pasar. Ketidakpastian global, kebijakan proteksionis, serta dinamika geopolitik terbukti mampu mengguncang pasar keuangan secara luas. Fluktuasi nilai tukar menjadi lebih volatil dan tidak hanya bergantung pada indikator ekonomi tradisional seperti neraca perdagangan dan suku bunga.

Dalam jangka panjang, perang dagang juga mendorong negara-negara untuk lebih berhati-hati dalam bergantung pada satu mitra dagang utama. Diversifikasi pasar dan penguatan ekonomi domestik menjadi agenda utama banyak negara untuk mengurangi risiko eksternal. Di sisi lain, bagi para trader forex, kondisi seperti ini menjadi peluang emas untuk meraih keuntungan melalui strategi trading yang tepat.

Peluang dan Tantangan bagi Trader Forex

Volatilitas pasar akibat perang dagang memberikan peluang besar bagi trader forex untuk meraih profit dari pergerakan nilai tukar. Namun, peluang ini juga dibarengi dengan risiko yang tinggi. Dibutuhkan pemahaman mendalam tentang analisis fundamental dan teknikal serta kemampuan membaca arah kebijakan global.

Trader yang mampu mengikuti perkembangan geopolitik dan menganalisis dampaknya terhadap mata uang tertentu bisa lebih siap dalam mengambil keputusan. Contohnya, memahami bagaimana pelemahan Yuan bisa berdampak terhadap nilai Dolar Australia (AUD), yang sangat tergantung pada ekspor ke China, bisa menjadi strategi penting dalam menentukan posisi trading.


Kalau kamu tertarik belajar lebih dalam tentang analisa pasar, strategi forex, dan cara menghadapi kondisi market yang tidak menentu seperti saat perang dagang ini, maka sekarang adalah waktu yang tepat untuk memulai perjalanan trading kamu bersama Didimax. Didimax adalah broker forex terbaik di Indonesia yang menyediakan edukasi trading gratis, bimbingan langsung dari mentor berpengalaman, dan komunitas yang solid.

Kunjungi sekarang juga website resmi kami di www.didimax.co.id dan daftar untuk mengikuti program edukasi forex gratis. Jangan biarkan peluang emas di dunia trading lewat begitu saja. Bersama Didimax, kamu bisa belajar dari dasar hingga mahir dan siap menghadapi tantangan pasar global dengan percaya diri!