Komoditas yang cukup penting bagi Indonesia ialah batu bara, bukan hanya mampu menyumbang devisa dari pajak dan royalti kepada negara saja, batu bara pun memiliki peranan begitu penting dalam listrik nasional.
Hingga sekarang ini pun batu bara masih menjadi sumber energi utama dengan biaya yang relatif rendah.
Meskipun demikian faktanya, batu bara yang ternyata memiliki rantai karbon yang cukup panjang, proses pembakarannya menghasilkan emisi tinggi serta kontribusi pada pemasaran global.
Ditambah lagi beberapa negara perlahan sudah menerapkan zona hijau, termasuk pula Indonesia berencana tercapai net zero emission di tahun 2070.
Para Pebisnis yang Mendapatkan Keuntungan Dari Harga Batu Bara
Meningkatnya harga batu bara tentu saja dapat memberikan keuntungan kepada perusahaan penambangnya, seperti perusahaan pembangkit listrik yang biaya operasinya pun malah mengalami kenaikan.
Berikut ini kami merangkum dari berbagai sumber, ada beberapa emiten besar dan juga konglomerat penguasa industri tambang batu bara di Indonesia.
1. Bayan Resources, Low Tuck Kwong
Datuk Dr. Low Tuck Kwong, lahir di Singapura pada 17 April 1948 dan resmi mengganti kewarganegaraannya menjadi WNI di tahun 1992 berhasil memeroleh pundi – pundi rupiah dari kepemilikan sahamnya di PT. Bayan Resources Tbk atau BYAN.
Di tahun 1997, titik balik kesuksesannya pun terjadi pada saat ia telah mengakuisisi tambang batu bara pertamanya yakni PT. Gunungbayan Pratamacoal.
BYAN sendiri merupakan emiten dengan kapitalisasi terbesar yang berfokus pada bisnis pertambangan batu bara. Tercatat sebagai kapitalisasi pasar hingga mencapai 49,50 triliun rupiah, lebih besar daripada Grup Adora ataupun emiten tambang lainnya.
Sampai dengan tahun ini, pendapatan dari Bayan tercatat mengalami kenaikan hingga 47 persen menjadi 14,63 triliun rupiah, sedangkan untuk laba bersihnya pun meningkat sampai 387 persen menjadi 4,82 triliun rupiah.
Berdasarkan data real time billionaire yang resmi dirilis oleh Forbes, per tanggal 20 September 2021, ia pun tercatat sebagai taipan terkaya di Indonesia dengan menempati posisi ke 16 serta total kekayaannya pun mencapai 1,20 miliar US dollar atau setara dengan 17,16 triliun rupiah.
2. Adaro, Boy Thohir dan TP Rachmat
Garibaldi Thohir bersama dengan TP Rachmat dan juga Edwin Soeryadjaya telah mendirikan emiten raksasa, PT. Adaro Energy Tbk (ADRO), pertama kalinya masuk ke dalam bursa tahun 2008 lalu serta sukses memeroleh dana IPO terbesar dalam sejarah baru ini yang rekornya sudah dipecahkan oleh Bukalapak.
Pulau Sumatera dan Kalimantan menjadi lokasi penambangan batu bara Adaro terbesar di Indonesia. Selain itu juga, ada pula situs penambangan yang terletak di Australia yang baru saja diakuisisi pada tahun 2018 lalu.
Sampai pertengahan tahun ini pendapatan dari Adaro sudah naik 15 persen menjadi 22,34 triliun rupiah, sedangkan untuk laba bersihnya pun mengalami peningkatan sekitar 10 persen menjadi 2,43 triliun rupiah.
Berdasarkan pada data real time billionaire Forbes mencatat TP Rachmat sebagai taipan terkaya di Indonesia dengan menempati posisi nomor 12 dengan jumlah kekayaan hingga mencapai 2,00 miliar US dollar atau setara dengan 28,6 triliun rupiah.
3. Energy, Kiki Barki
Kiki Barki Makmur merupakan seorang pengusaha batu bara sebagai pemilik PT Harum Energy Tbk (HRUM). Pada tahun 2010 lalu, namanya pun masuk ke dalam daftar 40 orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes dengan total kekayaannya hingga mencapai 1,7 miliar US dollar.
Namanya pun terakhir kalinya muncul di daftar orang terkaya versi Forbes ialah di tahun 2013 dengan total kekayaan sekitar 680 juta US dollar.
Kendati pun sudah lama absen dari majalah Forbes, kekayaan dari Kiki Barki pun masih begitu besar karena bisnis batu bara yang dimilikinya sudah meroket dikarenakan kenaikan harga komoditas tersebut.
PT Harum Energy Tbk merupakan induk perusahaan yang telah berdiri sejak tahun 1995, dengan portofolio usaha di bidang pertambangan batu bara serta kegiatan logistiknya berpusat di Kalimantan Timur. Melalui PT. Karunia Bara Perkasa, Kiki Barki pun menguasai sebanyak 79,79 persen dari saham HRUM.
Sampai dengan pertengahan tahun 2020, pendapatan dari HRUM naik 13 persen menjadi 1,56 triliun rupiah, dengan laba bersihnya tercatat turun sekitar 52 persen menjadi 148 miliar rupiah.