Harga minyak dunia mengalami pergerakan cukup beragam di tengah-tengah kekhawatiran mengenai prospek naiknya suku bunga the Fed. Tercatat minyak dunia kembali melanjutkan pelemahannya selama dua minggu terakhir.
Hal itu terjadi setelah adanya data dari Cina di mana kembali hidupkan kekhawatiran mengenai proses pemulihan perekonomian. Apalagi Cina merupakan negara yang melakukan import minyak paling besar dunia.
Berdasarkan datanya, di perdagangan Senin (1/5) pagi waktu Indonesia Barat, harga minyak acuan Brent menguat. Tepatnya berada di angka 79,99 dolar AS per barel dan itu naik sekitar 0,3%.
Sementara itu untuk WTI (west texas intermediate) justru harus merosot turun sebesar 0,77%, tepatnya di nilai 76,20 dolar AS per barel. Kedua minyak dunia tersebut terbukti mengalami pergerakan yang berbeda.
Harga Minyak Mentah Dunia
Berdasarkan data dari pengeluaran konsumen AS sendiri pada bulan Maret memang cukup stagnan. Hal itu dikarenakan adanya pengeluaran untuk jasa meningkat dan diimbangi dengan penurunan pengeluaran pembelian barang.
Namun meskipun demikian tetap saja tekanan inflasi bisa membuat the Fed nantinya akan menaikkan suku bunganya. Sesuai laporan, the Fed bisa hawkish dan itu nanti mampu menekan logam serta energi.
Dilihat dari pertumbuhan ekonomi AS yang melambat bahkan lebih dari perkiraan sebelumnya di kuartal pertama (Q1). Cepatnya pergerakan data belanja konsumen juga diimbangi adanya bisnis yang mencabut persediaan.
Di mana hal itu dilakukan agar bisa antisipasi permintaan yang lebih ringan pada akhir tahun ini di tengah-tengah tingginya biaya pinjaman. Sementara itu PMI (indeks manajer pembelian manufaktur Cina) turun.
PMI anjlok jadi 49,2 dari sebelumnya 5,19 pada bulan Maret lalu. Hal tersebut membuat PMI Cina berada di bawah 50 poin di mana itu merupakan zona kontraksi.
Angka 50 sendiri nantinya akan menjadi batasan antara kontraksi dan ekspansi dalam kegiatan manufaktur bulanan. Tentunya peristiwa ini harus membuat para investor berhati-hati di tengah sinyal perekonomian yang beragam.
Minyak mentah Brent sudah ikut market lebih luas lagi di sesi terakhir ini. Tentu saja dengan adanya banyak data ekonomi akan menciptakan ketidakpastian mengenai prospek harga minyak sendiri.
Di lain sisi, produksi minyak mentah dari AS juga mengalami penurunan pada bulan Februari lalu jadi 12,5 juta bpd (barel per hari). Angka tersebut menjadi yang paling rendah sejak bulan Desember.
Permintaan mengenai bahan bakar bahkan naik sampai 20 juta barel per hari. Nilai itu masuk dalam kategori paling tinggi sejak November. Berdasarkan data EIA, persediaan minyak mentah dan bensin AS turun.
Bahkan penurunannya tersebut melebihi dari data yang sebelumnya diprediksi. Itu dikarenakan permintaan untuk bahan bakar motor semakin tinggi menjelang puncaknya musim pengemudi, tepatnya pada musim panas.
Kekhawatiran Pelemahan Ekonomi
Alasan lain mengapa harga minyak anjlok juga karena kekhawatiran dampak ekonomi dari the Fed. Di mana bank sentral AS tersebut berpeluang akan naikkan suku bunga dan lemahnya data manufaktur China.
Sementara itu untuk dukungan dari pemangkasan pasokan dari OPEC+ sendiri juga mulai diberlakukan bulan ini. Namun hal tersebut justru tidak dapat menyokong harga minyak dunia.
Pada 2-3 Mei nanti, the Fed akan melakukan pertemuan dan diprediksi suku bunga dinaikkan sebanyak 25 basis poin. Sementara nilai tukar dolar mengalami kenaikan terhadap mata utama dunia Senin (1/5).
Sehingga hal tersebut membuat harga minyak dunia juga lebih mahal untuk para pemegang kurs lainnya. Pada Senin sore, harga minyak mentah Brent turun 1.21 USD atau 1,5% per barel.
Sementara harga minyak WTI melemah 0,96 USD atau 1,3% per barel dan dijual di angka 75,82 dolar AS per barel. Minggu ini the Fed akan mengumumkan kenaikan suku bunga lebih lanjut.
Hal itu diprediksi akan mampu dorong peningkatan volatilitas harga dalam jangka pendek. Reserve Bank of Australia, diprediksi perpanjang kenaikan suku bunganya di Selasa, sementara Bank Sentral Eropa berbeda lagi.
Mereka akan memberikan kejutan baru dengan naiknya setengah poin dengan cukup besar pada Kamis mendatang. Selain itu data ekonomi yang lemah dari Cina juga cukup membebani.
Dipercaya selama sisa kuartal kedua nantinya pasar minyak bisa mengalami defisit setelah adanya pemangkasan dari OPEC+. Diperkirakan pembatasan produksi yang ditambah permintaan tinggi bisa membuat harga makin tinggi.