Menghadapi USD, Rupiah mengalami pelemahan hingga 0,74%. Tercatat rupiah hanya mampu bertahan di Rp 14.355/US$ sepanjang pekan lalu. Dari 5 hari aktif pasar, Kenaikan hanya terjadi pada Jum’at 7 Januari lalu.
Meskipun begitu, performa Rupiah terhadap USD masih terbilang baik jika dibandingkan dengan mata uang utama lainnya di Asia. Tekanan terhadap rupiah muncul pasca The FED merilis notula rapat kebijakan moneter mereka.
Pada notula akhir tahun tersebut, terlihat jelas kalau The FED memiliki intensi besar untuk melakukan normalisasi terhadap kebijakan moneternya di awal tahun ini. Hal ini dibuktikan dengan 3 kali kenaikan suku bunga setelah notula akhir tahun dirilis.
Redam Inflasi, Bank Sentral AS Bergerak dengan Sangat Agresif
The FED terlihat sangat agresif beberapa waktu belakangan ini. Selain menaikkan suku bunga, balance sheet mereka juga terlihat diturunkan dengan signifikan. Dalam kondisi seperti ini, sangat mungkin jika surat berharga dan obligasi yang mereka miliki akan segera dilelang.
Kondisi ini akan membuat likuiditas kembali terserap dan semakin ketat seiring dengan berjalannya waktu. Segala tindakan yang dilakukan oleh The FED ini bertujuan untuk meminimalisir inflasi yang sedang terjadi di negara adidaya tersebut.
Inflasi berkepanjangan memang berdampak besar terhadap stabilitas perekonomian sebuah negara. Bukan hal yang tidak mungkin kalau inflasi akan semakin parah jika tidak dilakukan tindakan yang signifikan saat ini juga. Sepertinya Bank Sentral AS telah mempertimbangkan hal ini dengan matang.
Yield Treasury Meningkat Dengan Tajam
Tindakan The FED memang bertujuan baik untuk perekonomian Amerika Serikat. Namun bagaimanapun juga, hal ini tetap memberikan dampak negatif. Salah satunya adalah terjadinya lonjakan Yield Obligasi atau Treasury di Amerika.
Tercatat dengan jelas kalau Yield Treasury AS mengalami kenaikan sebesar 25,3 poin ke titik 1,7655% selama pekan pertama 2022. Ini merupakan level tertinggi yang pernah dicapai sejak tahun 2020 lalu. Bahkan titik tersebut belum pernah terjadi semenjak pandemi Covid-19 melanda dunia.
Hebatnya, kenaikan Yield treasury ini juga merupakan titik tertinggi dalam tenor 10 tahun. Tanpa disadari, kenaikan Yield Obligasi akan memicu terjadinya capital outflow pada pasar obligasi di Indonesia.
Secara otomatis, kondisi tersebut akan sangat melemahkan rupiah. Pekan ini, rupiah berpotensi anjlok. Namun hal ini tidak lantas menghilangkan potensi kenaikan rupiah. Peluang kenaikan Rupiah tetap tinggi mengingat indeks USD mengalami penurunan hingga 0,62% atau ke angka 95,718.
Ada banyak hal yang memicu terjadinya penurunan dari indeks dolar AS. Salah satunya adalah variasi data tenaga kerja di AS itu sendiri. Diberitakan dengan jelas kalau perekrutan pekerja non-farm payroll/NFP atau selain sektor pertanian mencapai 199.000 orang pada bulan Agustus lalu.
Angka tersebut berada jauh dari bulan sebelumnya yang mencapai 249.000 pekerja. Bahkan angka ini juga jauh dari prediksi pasar yang berada di kisaran 400.000 orang untuk bulan tersebut. Angka tersebut juga berdampak besar terhadap penurunan tingkat pengangguran di AS.
Tekanan Terhadap Rupiah Semakin Tinggi di Awal Tahun
Penyerapan tenaga kerja besar-besaran di AS membuat pasar lebih condong untuk melihat data NFP. Selain itu, pasar juga masih menunggu testimoni dari Jerome Powell yang saat ini menjabat sebagai ketua The Fed. Testimoni pria tersebut diprediksi akan berdampak besar terhadap stabilitas finansial global setelahnya.
Secara teknis hal ini juga akan membuat Rupiah semakin tertekan. Padahal sebelumnya Rupiah terus berada di atas Moving Average 200/ MA 200. Pada tanggal postingan ini dibuat, Rupiah sendiri sedang berada di atas 3 MA.
Di titik ini, Rupiah ada di kisaran Rp 14.330 hingga Rp 14.340/US$. Namun diprediksi Rupiah akan melemah ke angka Rp 14.430/US$ hingga Rp 14.450/US$ pasca rilis testimoni ketua The FED di akhir pekan ini. Namun tetap saja ini merupakan sebuah prediksi.
Meskipun kecil, peluang untuk penguatan tetap ada. Hal ini bisa dilihat dengan jelas pada pergerakan Indikator Stochastic yang mulai bergeser masuk ke area overbought atau jenuh beli. Ketika indikator Stochastic mencapai oversold di bawah 20 atau overbought di atas 80, harga sebuah instrumen akan mengalami penguatan.