Pusat Edukasi

Rumah Pusat Edukasi Belajar Forex Pusat Edukasi Gratis Bank Sentral Dunia Dipaksa Revisi Proyeksi Akibat Konflik Iran-Israel

Bank Sentral Dunia Dipaksa Revisi Proyeksi Akibat Konflik Iran-Israel

by Iqbal

Bank Sentral Dunia Dipaksa Revisi Proyeksi Akibat Konflik Iran-Israel

Ketegangan geopolitik kembali memanas di kawasan Timur Tengah, kali ini melibatkan dua kekuatan besar regional: Iran dan Israel. Konflik yang awalnya dipicu oleh serangkaian serangan lintas batas dan eskalasi retorika politik, kini telah berkembang menjadi krisis berskala internasional yang mengancam stabilitas ekonomi global. Implikasi dari konflik ini tak hanya dirasakan oleh sektor energi dan keamanan, namun juga mulai menimbulkan tekanan serius pada kebijakan moneter dunia. Bank-bank sentral global kini dihadapkan pada kenyataan pahit: proyeksi ekonomi yang selama ini disusun dengan hati-hati harus direvisi ulang.

Konflik Iran-Israel Memicu Volatilitas Ekonomi Global

Konflik bersenjata antara Iran dan Israel memberikan dampak langsung terhadap pasar komoditas, terutama harga minyak dan gas alam. Iran, sebagai salah satu produsen minyak terbesar di dunia, memiliki pengaruh signifikan terhadap pasokan global. Ketidakpastian terkait keamanan jalur distribusi minyak di Selat Hormuz membuat harga minyak melonjak drastis. Dalam hitungan minggu, harga minyak mentah Brent melonjak dari kisaran $80 per barel menjadi lebih dari $100 per barel.

Lonjakan harga energi ini memicu efek domino ke sektor lain, mulai dari biaya produksi industri, harga pangan, hingga daya beli konsumen. Inflasi yang sebelumnya sudah berada di level mengkhawatirkan akibat pemulihan pasca pandemi dan krisis Ukraina, kini kembali mendapatkan tekanan baru. Kondisi inilah yang kemudian mendorong bank-bank sentral dunia melakukan kalkulasi ulang terhadap asumsi-asumsi dasar proyeksi ekonomi mereka.

Bank Sentral AS: Dilema Antara Inflasi dan Pertumbuhan

Federal Reserve (The Fed) menjadi salah satu bank sentral yang paling mendapat sorotan. Sebelum konflik Iran-Israel pecah, The Fed sudah berada dalam jalur kebijakan moneter ketat guna menekan inflasi domestik yang membandel. Namun dengan melonjaknya harga energi dan pangan global, tekanan inflasi di AS kembali meningkat.

Di sisi lain, gejolak global ini turut memperlambat pertumbuhan ekonomi AS. Sektor ekspor tertekan akibat menurunnya permintaan global, sementara konsumsi domestik melambat akibat tekanan harga. The Fed kini menghadapi dilema klasik: apakah tetap agresif menaikkan suku bunga guna melawan inflasi, atau mulai menahan diri demi menyelamatkan pertumbuhan ekonomi.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi AS yang sebelumnya dipatok di kisaran 2% untuk tahun 2025 kini direvisi turun ke angka 1,5%. Sementara itu, target inflasi tahunan 2% yang menjadi pegangan utama The Fed, diproyeksikan akan sulit tercapai hingga pertengahan 2026. Kebijakan moneter The Fed menjadi perhatian utama pelaku pasar forex global, mengingat setiap perubahan suku bunga dolar AS berdampak besar pada pergerakan mata uang dunia.

Bank Sentral Eropa di Tengah Ketidakpastian Pasar Energi

Eropa, yang sangat bergantung pada pasokan energi impor, juga terkena imbas besar dari konflik ini. Lonjakan harga minyak dan gas memperparah tekanan inflasi yang sudah tinggi akibat ketergantungan energi dari luar negeri. European Central Bank (ECB) yang sempat merencanakan jeda kenaikan suku bunga, kini dipaksa mempertimbangkan opsi pengetatan lanjutan.

Inflasi kawasan Euro yang sempat menurun ke kisaran 3% kembali merangkak naik ke level 4,2% pada kuartal kedua 2025. Proyeksi pertumbuhan ekonomi Uni Eropa untuk tahun ini pun direvisi dari 1,2% menjadi hanya 0,8%. Bank sentral negara-negara anggota seperti Bundesbank (Jerman), Banque de France, dan Banca d’Italia melakukan penyesuaian proyeksi masing-masing dengan mempertimbangkan risiko stagflasi.

Euro sebagai mata uang tunggal juga mengalami volatilitas tinggi. Di pasar forex, Euro melemah terhadap Dolar AS dan Swiss Franc, yang kembali menjadi safe haven favorit di tengah ketidakpastian geopolitik.

Dampak Terhadap Bank Sentral Negara Berkembang

Negara-negara berkembang, termasuk di kawasan Asia, Amerika Latin, dan Afrika, menghadapi tantangan yang tak kalah berat. Lonjakan harga energi memicu defisit neraca perdagangan dan pelemahan mata uang domestik. Bank sentral di negara-negara ini harus menaikkan suku bunga guna menahan pelemahan mata uang dan mencegah capital outflow yang lebih besar.

Bank Indonesia misalnya, memutuskan menaikkan BI-Rate sebesar 50 basis poin menjadi 6,50% guna meredam inflasi impor dan menjaga stabilitas rupiah. Di India, Reserve Bank of India juga menunda rencana pemangkasan suku bunga yang sebelumnya dijadwalkan. Negara-negara lain seperti Brasil, Afrika Selatan, dan Turki menghadapi tekanan serupa.

Revisi proyeksi ekonomi negara berkembang sebagian besar mencerminkan risiko pelemahan pertumbuhan di tengah upaya stabilisasi inflasi. Skenario stagflasi global kini menjadi kekhawatiran nyata yang menghantui bank sentral dunia.

Pengaruh Ketidakpastian Geopolitik Terhadap Pasar Forex

Pasar forex, yang sangat sensitif terhadap gejolak geopolitik, merespons dengan cepat perkembangan konflik Iran-Israel. Mata uang safe haven seperti Dolar AS, Swiss Franc, dan Yen Jepang mengalami penguatan tajam. Sebaliknya, mata uang negara berkembang mengalami pelemahan.

Kurs USD/JPY sempat turun ke level 145, sementara USD/CHF stabil di area 0,87. Rupiah, Peso Filipina, dan Baht Thailand melemah lebih dari 2% dalam sebulan terakhir. Volatilitas indeks DXY (Dollar Index) melonjak, mencerminkan tingginya permintaan atas dolar AS sebagai aset lindung nilai.

Selain penguatan mata uang safe haven, konflik ini juga mendorong investor melakukan rotasi aset dari saham ke obligasi pemerintah negara maju. Imbal hasil obligasi AS bertenor 10 tahun kembali turun ke kisaran 3,7% akibat lonjakan permintaan obligasi sebagai instrumen pengaman di tengah ketidakpastian.

Peran Bank Sentral Global Semakin Kompleks

Kondisi saat ini menunjukkan betapa rapuhnya keseimbangan ekonomi global di tengah dunia yang saling terkoneksi. Bank sentral global kini bukan hanya menjadi penjaga stabilitas domestik, namun juga harus mempertimbangkan risiko eksternal yang cepat berubah. Konflik geopolitik seperti Iran-Israel menempatkan mereka dalam posisi sulit, di mana setiap keputusan suku bunga atau stimulus moneter bisa memiliki dampak global berantai.

Koordinasi kebijakan antar bank sentral global menjadi semakin penting, meskipun tidak mudah diwujudkan di tengah perbedaan kondisi ekonomi domestik masing-masing negara. International Monetary Fund (IMF) bahkan menyerukan forum koordinasi kebijakan moneter global yang lebih terstruktur untuk menghindari terjadinya spiral krisis global.

Krisis Iran-Israel ini memperlihatkan dengan gamblang bagaimana satu peristiwa geopolitik dapat memaksa revisi besar-besaran pada proyeksi ekonomi dunia dalam waktu singkat. Ketidakpastian global yang tinggi mengharuskan para pelaku pasar, investor, maupun trader forex untuk meningkatkan kewaspadaan dan memperdalam pemahaman mereka atas dinamika global.

Dalam situasi global yang penuh ketidakpastian seperti saat ini, edukasi dan pengetahuan menjadi kunci utama untuk bisa tetap survive di pasar finansial. Didimax hadir sebagai partner edukasi trading terpercaya yang siap membantu Anda memahami risiko dan peluang yang muncul akibat dinamika geopolitik dunia. Melalui program edukasi komprehensif, Didimax membekali Anda dengan strategi trading yang teruji dalam menghadapi volatilitas pasar.

Jangan biarkan ketidakpastian pasar membuat Anda gamang dalam mengambil keputusan. Bergabunglah bersama Didimax di www.didimax.co.id, dan ikuti berbagai pelatihan serta pembelajaran yang didampingi oleh mentor-mentor berpengalaman. Dengan pemahaman yang tepat, Anda bisa mengubah krisis menjadi peluang meraih profit di tengah dinamika global yang terus berubah.