Tadashi Maeda, Presiden The Japan Bank for International Cooperation (JBIC) telah memberikan pernyataan bahwa tidak akan lagi memberikan dukungan finansial untuk proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Indonesia dijadikan contoh oleh Tadashi saat wawancaranya bersama media Jepang mengenai usaha untuk memajukan energi terbarukan. Namun usaha tersebut masih terkendala.
Penyebab terkendalanya pemanfaatan energi terbarukan menurut Tadashi salah satunya adalah adanya ketergantungan terhadap cuaca. Sehingga JBIC pun memberi solusi untuk memaksimalkan pemanfaatan pembangkit listrik termal berupa liquefied natural gas (LNG). Didukung dengan energi termal yang menghasilkan lebih sedikit karbon dioksida dibandingkan pemanfaatan pembangkit listrik tenaga uap dengan pemanfaatan batu bara.
Sebelumnya Dua Bank Jepang juga Telah Memberhentikan Dukungan Dana untuk PLTU
Pengumuman JBIC mengenai tidak lagi menyokong proyek PLTU dilakukan pada Jumat (24/4/2020). Sedangkan dua bank raksasa asal Jepang lainnya, yaitu Mizuho dan Japan’s Sumitomo Mitsui Financial Group Inc (SMFG) sudah memberikan pernyataan pemberhentian dukungan PLTU batu bara terlebih dahulu. Tepatnya pelaksanaan tersebut telah dilaksanakan sejak Rabu (15/4/2020).
Diawali dengan Mizuho yang memotong saldo kredit sebesar 300 miliar yen atau kisaran $2,8 miliar dolar AS untuk proyek PLTU batu bara pada 2030. Sedangkan pemberhentian sokongan dana total akan dilakukan pada 2050. Kemudian diikuti oleh SMFG yang menyatakan mulai 1 Mei tidak akan lagi memberi pinjaman untuk proyek PLTU.
Pandu Patria Sjahrir, yang menjabat sebagai Direktur Toba Bara Sejahtra Tbk (TOBA) menyatakan bahwa TOBA belum terkena pengaruh rencana pemberhentian dana dari Mizuho dan SMFG tersebut. Karena proyek PLTU Sulut-3 dan Sulbagut-1 yang dikelola oleh TOBA pun sudah tersedia pendanaannya. Hingga kedua proyek tersebut masih berjalan lancar.
Proyek PLTU dengan manajemen TOBA pun sejak awal tidak sepenuhnya bergantung dengan pinjaman bank sebagai penyokong dananya. Namun pemberhentian ini tentunya menjadikan emiten berusaha mencari pengoptimalan dana untuk memenuhi kebutuhan proyek PLTU tersebut. Salah satu sumbernya kemungkinan besar juga dari berbagai instrumen yang ada di pasar modal.
Pandu menyatakan pula bahwa peluang bisnis PLTU batu bara saat ini masih bagus. Perlu diketahui bahwa nilai investasi PLTU Sulut-3 adalah mencapai $209 juta dolar AS. Kapasitasnya sendiri adalah 2x50 MW. Sedangkan nilai investasi PLTU Sulbagut-1 adalah sebesar $224 juta dolar AS dengan kapasitas 2x50 MW.
Empat Proyek Batu Bara yang Berhenti Dibiayai JBIC karena Peralihan ke Energi Bersih Terbarukan
Kembali ke pernyataan JBIC, bahwa bank yang sebelumnya dibiayai olehnya adalah PLTU Cirebon 2, PLTU Tanjung Jati B, PLTU Kalselteng, dan PLTU Batang. PLTU Cirebon 2 sendiri memiliki kapasitas sebesar 1x1000 MW dengan pengelolanya adalah Indika Energy Tbk dengan saham sebesar 25% dan PT Marubeni dengan besar kepemilikan saham 35%.
Sedangkan PLTU Tanjung Jati B kapasitasnya adalah 2x1000 MW dengan pengelola PT Unitra Persada Energia, The Kansai Electric Power, serta Sumito Sorporation Group. Selanjutnya adalah PLTU Batang dan PLTU Kalselteng dengan kapasitas masing-masing 2x1000 MW dan 2x100 MW dengan pengelola konsorsium J-Power, Itochu, dan Adaro Energy Tbk.
Tata Mustasya selaku Koordinator Regional Pengkampanyean Iklim dan Energi Grenpeace SEA pun memberi pernyataan terhadap langkah JBIC dalam pemberhentian dukungan finansial PLTU. Menurutnya hal tersebut merupakan sinyal jelas dari JBIC bahwa sektor batu bara semakin dijauhi oleh pembiayaan internasional. Tata menambahkan bahwa batu bara berisiko memengaruhi beberapa sektor.
Sektor yang bisa terpengaruh penggunaan batu bara meliputi politik, ekonomi, hingga reputasi. Sehingga publik maupun swasta pun memilih menjauh dari penggunaan batu bara. Hal tersebut menjadi JBIC mengambil langkah nyata berupa pemberhentian investasi proyek PLTU batu bara di Indonesia. Serta kemungkinan besar untuk peralihan ke energi bersih dan terbarukan.
Menurut Tata Mustasya, JBIC pun sebaiknya lebih dahulu menahan peralihan ke LNG karena bisa menunda adanya peralihan energi. Menurutnya pun Indonesia telah memiliki energi angin dan surya besar yang memiliki tingkat utilisasi rendah. Hanya bagaimana langkah dan kewajiban yang harus diambil pemerintah Indonesia mengenai dukungan energi bersih dan terbarukan tersebut.