Menyusul kebijakan Inggris untuk keluar dari perserikatan negara euro, Brexit, Poundsterling terus mengalami pelemahan sejak akhir tahun 2018. Menurun ahli statistika dari ONS, Rob Kent-Smith, PDB Inggris mengalami perlambatan tiga bulan terahir di tahun ini, dimana pembuatan mobil, produk baja, serta kontruksi mengalami penurunan tajam. Hal tersebut menjadi indikator terjadinya pelambatan ekonomi Inggris yang tajam, sehingga memunculkan kekhawatiran dari berbagai kalangan tentang dampak Brexit.
Secara keseluruha, pada tahun 2018 menjadi pertumbuhan ekonomi terendah sejak tahun 2012 dimana turun dari level 1.8% pada tahun 2017 menjadi 1.4% saja. Inggris menghadapi masalah serius pada sektor bisnis dalam negeri, karena munculnya kekhawatiran pasar terhadap kurangnya persiapan Inggris dalam mempersiapkan diri untuk terlepas pada Uni Eropa tanggal 29 Maret nanti. Kekhawatiran tersebut memicu ekspor menjadi melemah terhadap pasar global dan konsumen.
Kerugian Akibat Brexit Mencapai 800 Juta Per Minggu
Ketidakpastian Brexit mendorong pengambilan kebijakan suku bunga dan beberapa efek lainnya. Hal tersebut diutarakan oleh Gertjan Vlieghe, salah satu anggota rapat kebijakan moneter bank sentral Inggris (BoE) ketika mengamati perkembangan kesiapan Inggris menghadapi Brexit yang masih belum menemukan titik temu. Padahal, tenggat masa penentuan ini sudah semakin dekat, yaitu kurang dari 2 bulan lagi atau bila di spesifikan lagi maka tinggal 6 minggu lagi.
Pada pidato hari kamis, 14 Februari 2019, Vlieghe menyatakan bahwa kegagalan Inggris mencapai GDP pertumbuhan ekonomi Inggris yang diproyeksikan sebesar 2% sejak di suarakanya Brexit, senilai dengan kehilangan 800 juta poundsterling setiap minggunya. Angka tersebut merupakan angka yang cukup besar, sekalipun bagi Inggris sebagai salah satu negara yang memiliki pengaruh bagi perekonomian dunia.
Dampak Brexit Terhadap Lesunya Ekonomi Inggris
Vlieghe menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan mengambil sikap “bussines as usual” / tidak ambil pusing ketika pertama kali merespon rencana Brexit yang digulirkan oleh pemerintah. Namun seiring berjalanya waktu dan semakin dekatnya tenggat waktu keluarnya Inggris dari euro secara resmi pada 29 Maret, perilaku mereka mulai berubah. Walaupun begitu, berita tersebut tidak menyebabkan perubahan perilaku konsumen yang signifikan.
Ketika perkembangan ekonomi Inggris masih belum bisa melepaskan diri dari perlambatan, Vlieghe berpendapat bahwa strategi menaikan suku bunga bukanlah keputusan yang tepat. Menurutnya, bank sentral Inggris perlu menganalisa data-data perekonomian terlebih dahulu. Bila data-data yang didapat ternyata mengindikasikan bahwa ekonomi Inggris mulai stabil, maka barulah strategi menaikkan suku bunga menjadi hal yang tepat untuk di ambil.
Pernyataan tersebut di dasari pandangan Vlieghe bahwa tercapainya sebuah kesepakatan pengunduran Inggris dari Uni Eropa, meningkat secara signifikanya keyakinan investor, serta investasi bisnis reli menjadi waktu yang tepat untuk menaikan suku bunga. Masih menurut Vlieghe, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mendapat kejelasan tentang Brexit, semakin lama pula waktu yang dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan untuk merespon, sehingga suku bunga pinjaman tidak boleh dinaikan.
Penguatan GBPUSD Tertahan Perbedaan Inflasi AS-Inggris
Kamis, 12 Februari 2019, pasangan mata uang GBP/USD perlahan-lahan merangkak dan mencoba menembus atas level 1.2850 di sesi Eropa. Namun, laju GBP/USD tersebut tertahan karena adanya berita perbedaan prospek kebijakan monoter setelah muncul perbedaan yang sangat kontras antara data inflasi di Inggris dan data inflasi di Amerika Serikat. Berita tersebut menyebabkan GBP masih terus terjebak dalam kelambatan pertumbuhan ekonomi.
The Times, salah satu media berita terbesar di Inggris melaporkan bahwa sebanyak 40 mantan duta Besar Inggris secara serentak menyuarakan penundaan Brexit kepada Perdana Menteri Inggris, Theresa May. Hal tersebut mengikut kondisi pasangan mata uang GBP/USD pada hari Rabu, 13 Februari yang melemah karena Consumer Price Index (CPI) Inggris di bulan Januari menunjukan perbedaan hasil dengan inflasi AS.
Angka konsesus pasar inflasi Januari lebih rendah daripada basis tahunanya dari 1,9 menjadi 1,8. Sedangkan di sisi lain, inflasi AS justru mengalami penguatan dari ekspektasi 1,5% menjadi 1,6%. Saat ini, GBP/USD di transaksikan pada level 1.2846, naik 2 pips dari penutupan kemarin.