Berita

Rumah Pusat Edukasi Data Market Berita Perdagangan Mata Uang Asia Sudah Naik, Bagaimana Nasib Rupiah?

Mata Uang Asia Sudah Naik, Bagaimana Nasib Rupiah?

by Didimax Team

Dalam beberapa hari ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih melemah dan bahkan masuk rapot merah di perdagangan pasar spot.  Rupiah terhadap dolar berada di angka Rp 13.708 yang menunjukkan pelemahan 0,45% dibandingkan minggu lalu. Pada saat pembukaan, rupiah juga dibuka stagnan dan langsung berada di zona merah. Tercatat nilainya berada di Rp.13.710 per US$ 1 (melemah 0,29 %).
 
Bagaimana dengan nilai mata uang dari negara di Asia yang lainnya? Meskipun sempat melemah juga, tapi saat ini cenderung mixed terhadap dolar AS. Beberapa mata uang yang telah menguat termasuk bath Thailand, dolar Singapura, won Korea Selatan, Yuan China dan Dolar Taiwan. Data selengkapnya akan Kami cantumkan berikutnya. 
 

Mata Uang Asia vs Dolar US

 
Mata Uang Pasangan Kurs Terakhir Penambahan
 
Mata Uang Pasangan Kurs Terakhir

Penambahan

 USD/TWD 30.08 -0.31
 USD/THB 31.25 -0.19
 USD/SGD 1.39 -0.02
 USD/PHP 50.77 -0.33
 USD/MYR 4.14 0.08
 USD/KRW 1,187.81 -0.30
 USD/JPY 109.83 0.10
 USD/INR 71.37 -0.18
 USD/IDR 13,710.00 0.29
 USD/HKD 7.77 0.00
 USD/CNY 6.99 -0.18

 

 
Sempat menjatuhkan beberapa mata uang di Asia karena ditolong oleh perilisan data ketenagakerjaan, tapi sepertinya minggu ini kekuatan dolar AS sudah memudar. Sejak awal tahun 2020 memang diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap perekonomian AS. Ditambah dengan adanya kesepakatan untuk mengakhiri perang dagang dengan perjanjian damai dagang fase I.
 
Melihat kondisi tersebut, perekonomian AS sepertinya tidak lagi membutuhkan stimulus dari suku bunga acuan yang diturunkan. Karena tanpa adanya campur tangan dari bank sentral, ekspansi ekonomi sudah membaik secara alami. Sehingga investasi berbasis dolar AS sejauh ini masih cukup menguntungkan dengan nilai tukar yang akan diperkirakan terus menguat. 
 

Data Inflasi China Ancam Dolar AS

 
Dalam perilisan data inflasi China yang mengumumkan laju inflasi 5,4% pada Januari 2020, sepertinya dapat meruntuhkan pamor dolar AS. Angka tersebut menunjukkan laju inflasi tercepat setelah Oktober tahun 2011. Dari data analisis bahkan terliaht bahwa perekonomian China masih tetap menggeliat meskipun sedang diterpa isu sebagai penyebar virus Corona. 
 
Per tanggal 10 Februari, kasus virus Corona memang semakin ganas dengan angka terinfeksi mencapai lebih dari 40 ribu kasus dari berbagai wilayah di dunia. Bahkan 910 orang diantaranya sudah dinyatakan menjadi korban jiwa infeksi Corona. Untuk mencegah hal-hal yang dapat menjadi masalah besar terhadap perekonomian Cina, Bank sentral Cina kemudian memudahkan proses penerbitan obligasi korporasi. Sehingga persyaratan dapat dikirim melalui media online maupun surat.
 
Bahkan Bank sentral China juga terus menyediakan fasilitas pinjaman dengan total mencapai CNY 300 M atau setara dengan 588-an triliun untuk mendongkrak penyaluran kredit pada perbankan. Mereka memberikan pinjaman tersebut dengan bunga khusus yang tentunya lebih rendah dari pasar. Melalui stimulasi ini diharapkan bisa mempertahankan perekonomian China, meskipun dampak buruk dari coronavirus mungkin tidak bisa dihindari. 
 
Kebijakan dari pemerintah China tersebut justru membuat lega beberapa mata uang, bahkan di sebagian besar keuangan Asia. Karena secara tidak langsung memberikan efek menguatnya mata uang Asia, tapi bagaimana dengan Indonesia? Ketika beberapa mata uang sudah kembali menguat, sayangnya tidak terlalu berdampak signifikan pada rupiah. 
 

Neraca Pembayaran Indonesia

 
Meskipun beberapa mata uang Asia sudah menguat, tapi sepertinya rupiah masih harus terbebani. Perilisan data penting berupa Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) masih dinantikan oleh para pelaku pasar. NPI diperkirakan bisa mendapatkan surplus setelah mengalami defisit pada pembukuan tahun 2018 sebesar U$ 7,13. 
 
Karena data tersebut dapat menggambarkan bagaimana arus devis di negara ini. Saat NPI mengalami surplus maka devisa yang masuk lebih banyak daripada keluar, sehingga penyokong rupiah akan jadi lebih kuat. Meskipun sebenarnya untuk tahun 2019 hampir dipastikan masih mengalami defisit, tapi sudah jauh lebih baik daripada tahun sebelumnya.
 
Seperti yang terlihat pada pembukuan perdagangan Indonesia di tahun terakhir ini mengalami defisit sebesar US$ 3,19 miliar, tapi jauh lebih baik daripada defisit 2018 yang mencapai nilai US$ 8,69 miliar. Para investor mungkin sekarang dapat berekspektasi adanya perbaikan dari NPI. Karena data tersebut masih di atas kertas maka harus menunggu realisasinya dari BI secara resmi.