Berita

Rumah Pusat Edukasi Data Market Berita Perdagangan Nasib Batu Bara yang Loyo Pekan Ini

Nasib Batu Bara yang Loyo Pekan Ini

by Didimax Team

Batu bara adalah komoditas ekspor Indonesia yang angkanya cukup besar. Menurut data dari Kementerian ESDM sampai bulan juni 2020 saja. Ekspor batu bara sudah melebih 180 juta ton dan mampu menghasilkan pendapatan untuk negara senilai US$8 miliar. Walaupun, angka ini cukup tinggi. Namun, masih lemah.

Pada periode yang sama ditahun 2019. Indonesia mampu menghasilkan ekspor kurang lebih 200 juta ton. Dengan nilai pendapatan hampir US$10 miliar atau turun sekitar 18%. Pengaruh penurunan angka ekspor ini tidak lain tidak bukan disebabkan karena permintaan turun. Akibat pandemi virus corona.

Sehingga, tidak hanya penurunan produksi dan pendapatan. Penurunan harga batu bara dunia pun juga terjadi. India dan China menjadi pemicunya, di mana mereka adalah negara impor batu bara terbesar di dunia. Dengan kondisi pandemi, pemintaan mereka untuk komoditi ini pun ikut menipis.

Apalagi, dengan kebijakan lock down India dan kasus peningkatan yang tajam. Membuat perekonomian mereka berkontraksi sangat dalam. Diproyeksikan bakal minus antara 4% sampai 8% tahun ini. Kondisi ini langsung berimbas pada harga batu bara yang sejak 5 hari lalu terus turun.

 

Permintaan Batu Bara di Asia

Batu bara merupakan komoditi yang juga terkena imbas dari virus corona. Beberapa negara yang biasanya impor. Saat ini mulai menekan dan mencoba memanfaatkan produksi dalam negeri terlebih dahulu. Menurut data dan fakta dari berbagai negara terutama India, impor batu bara mereka tercatat turun hingga 35%.

Sebagai negara paling tinggi impor batu bara, pengurangan ini akan sangat berpengaruh kepada negara-negara ekspor seperti Australia dan Indonesia. Sementara, untuk batu bara kokas juga tercatat turun hingga 28%. Sehingga, totalnya 10,7 juta ton  pada kuartal pertama tahun ini.

Selain India, negara di Asia yang juga masih impor batu bara adalah Vietnam dan China. Kedua negara ini menunjukkan data dan fakta yang menarik. Saling berbanding terbalik satu sama lain. Vietnam tercatat menaikkan impor batu bara. Bulan Juni saja sudah ada lonjakan sampai 60%.

Jumlahnya sudah mencapai 6,3 juta ton. Angka ini dinilai yang paling tinggi ditengah krisis pandemi virus corona. Saat ini Vietnam sedang mengembangkan pembangkit listrik tenaga batu bara. Tidak heran bila kebutuhannya sangat banyak dan mewajibkan mereka membuka keran impor.

Hal ini sedikit menguntungkan Indonesia. Dari 31,5 juta ton yang sudah diimpor di kuartal pertama. 9,8 juta ton berasal dari Indonesia, sisanya ada dari Australia 10,8 juta ton, dan Rusia 4,4 juta ton. Berbanding terbalik dengan China yang tergerus masalah pandemi. Tercatat impor mereka turun.

Permintaan Batu Bara di Eropa

Tidak hanya negara di Asia saja, Eropa juga membuka keran impor mereka. Walaupun, secara nilai tergolong rendah. Lonjakan terbesar ada di musim dingin. Beberapa menggunakannya untuk bahan perapian agar suhu ruangan tetap hangat. Menariknya lagi, mereka sedang mengembangkan pembangkit listrik tenaga gas.

Hal ini dipengaruhi oleh konsumsi batu bara jerman yang dinilai tidak efektif dan kompetitif sebagai pembangkit listrik. Oleh karena itu, Uni eropa sepakat untuk beralih ke Gas. Dengan berkurangnya impor dari negara uni eropa, juga akan berimbas pada penurunan harga batu bara akan semakin dalam.

Dari data dan fakta yang ada impor UEA dan Rusia pada periode sampai juni saja mereka hanya membuka 9,3 juta ton. Atau turun hampir 4 juta ton diperiode yang sama tahun lalu. Begitu pula dengan Belanda yang hampir 35% menjadi 7,3 juta ton saja. 

Ada juga Spanyol dan Jerman yang masing-masing menyumbang 3,9 juta ton dan 2,8 juta ton. Dari hasil ini, tidak heran bila harga batu bara saat ini mengalami penurunan tajam. Bahkan, diproyeksikan bakal menyentuh level terendah tahun ini. 

Melihat dari harga perdagangan batu bara yang tidak pernah tembus US$ 60/ton. Tercatat pada perdagangan hari rabu  harga batu bara  acuan Newcastle melemah.  Angkanya menuju US$ 53/ton. Atau terkoreksi hingga 3,6% diperiode yang sama tahun lalu.

Dengan demikian, pendapatan ekspor dalam negeri akan berkurang. Pemangkasan produksi menjadi pilihan. Dampaknya target tahunan yang diproyeksikan 57 juta ton sampai 61 juta ton ditahun ini. Diperkirakan tidak akan menembus target dan hanya bisa menyentuh 50 juta ton sampai 56 juta ton.