Berita

Rumah Pusat Edukasi Data Market Berita Perdagangan Ringgit Menjadi Mata Uang Terburuk di Asia, Begini Kondisi Malaysia Pasca Pandemi

Ringgit Menjadi Mata Uang Terburuk di Asia, Begini Kondisi Malaysia Pasca Pandemi

by Didimax Team

Di antara semua mata uang di Asia, tercatat Ringgit Malaysia mempunyai kinerja paling buruk. Penurunannya terhadap Dollar AS hampir 8,7%. Negara tetangga seperti Indonesia dan Singapura penurunannya tidak lebih dari 5%, bahkan cenderung  menguat. Hal ini disebabkan banyaknya tantangan yang harus dihadapi negeri jiran itu. 

Suhu politik yang kurang kondusif menjadi penyebab utama. Seperti diketahui, Mahathir Mohammad memutuskan untuk mundur dari jabatan perdana menteri. Posisi tersebut diganti oleh Muhyiddin Yassin. Setelah dalam pemilihan menang tipis di parlemen. Kondisi ini membuat posisinya tidak kuat.

Suhu politik yang tidak menentu seperti ini. Membuat Investor akan berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di Malaysia. Kebijakan bisnis yang tidak menentu dan perdagangan yang tidak akan berjalan mulus. Menjadi ketakutan para investor untuk bisa masuk pasar Malaysia.

Selain itu, tercatat banyaknya PHK masal yang saat ini sedang terjadi. Perlemahan Ringgit semakin terasa saat beberapa perusahaan otomotif mengaku mengalami kerugian hingga 40%. Banyaknya perusahaan yang tumbang membuat pemerintah tidak bisa mengendalikan laju PHK yang cukup besar. 

 

Ringgit Tergerus Akibat Situasi Perekonomian Negara Lain

Saat ini, Singapura sedang mengalami resesi. Begitu pula dengan Indonesia yang diramalkan bakal mengalami hal serupa. Kedua negara tetangga ini, juga menjadi faktor mengapa Ringgit terus tergerus. Perjanjian kerja sama di antara negara tersebut semakin turun. 

Seperti, singapura yang tercatat sudah menurunkan nilai ekspor dan import antar kedua negara sejak beberapa bulan lalu. Ketidakpastian ekonomi Malaysia yang sudah terjadi sejak awal tahun. Membuat Singapura melakukan kebijakan tersebut. Mereka tidak ingin merugi di kemudian hari bila Ringgit belum stabil.

Bila dilihat dari perdagangan selama ini. Barang ekspor Malaysia terbesar berada di  Singapura, Indonesia, dan Thailand. Tidak heran, dengan kebijakan Singapura, ekspor negeri jiran ini berkurang. Untuk menstabilkan kondisi tersebut, kegiatan ekspor dialihkan ke negara lain.

Tetapi, nilainya tidak terlalu besar, mengingat situasi dan kondisi perekonomian negara di sebuah negara saat ini kurang baik. Seperti, Indonesia yang tercatat mengalami penurunan nilai import selama pandemi. Begitu pula dengan Thailand dan beberapa negara lain di Asia Tenggara.

Selain itu perang dagang antara AS dan China juga menjadi faktor penghalang bagaimana tumbuhnya ekspor yang dimiliki oleh Malaysia. Dengan kenaikan tarif bea masuk yang meningkat akan mempengaruhi harga produksi. Tekanan ini memang cukup kuat berdampak ke Malaysia.

Harga Minyak yang Tidak Pasti

Harga minyak dunia saat ini memang masih belum stabil hal ini menjadi penyebab lain nilai Ringgit mempunyai kinerja terburuk. Terlebih lagi adanya penurunan harga minyak yang meningkat. Sesuai dengan rencana koalisi OPEC + untuk mengurasi produksi akibat adanya pandemi. 

Sebagai negara pengekspor minyak, hal ini sangat merugikan. Terbukti dengan perlemahan yang terjadi hingga di level 4,25 terhadap Dollar Amerika. Tidak stabilnya minyak menjadi perhatian pasar. Di mana mereka akan melihat  data rilis Malaysia yang diproyeksikan masih mengalami deflasi.

Kondisi tersebut semakin tidak menguntungkan untuk Malaysia terutama bank negara yang akan menaikkan suku bunganya lagi. Hal ini akan membenai Ringgit. Tidak hanya sampai disitu, kenaikan CPO. Kebijakan mengenai lock down di berbagai negara membuat permintaan untuk minyak nabati sejenis menurun.

Biasanya, permintaan minyak nabati sejenis lebih sering digunakan untuk hotel dan restoran. Akibat pandemi, dua sektor pariwisata tersebut harus tutup. Begitu pula dengan berakhirnya kontrak Impor minyak sawit ke Uni Eropa 2019/2020 yang berakhir bulan juni lalu. Semakin menggerus ekspor Malaysia.

Cara Malaysia Meningkatkan Kembali Kinerja Ringgit

Saat ini, banyak negara sudah melakukan kebijakan menuju new normal. Beberapa perdagangan ekspor dan import mulai kembali tumbuh. Terlebih lagi, perlemahan terhadap Dollar AS yang terjadi selama beberapa pekan, bisa dimanfaatkan dengan baik untuk menumbuhkan kembali nilai tukar Ringgit.

Di sisi lain, sistem kerja sama Malaysia dan Thailand di bidang perdagangan yang tidak menggunakan Dollar AS sebagai sistem pembayaran. Diproyeksikan mampu menghindari konsumsi Dollar AS yang sangat tinggi. Dengan begitu harga barang bisa jauh lebih murah. Daya beli masarakat juga bisa jauh lebih baik.

Faktor yang mampu menekan laju perlemahan Ringgit, adalah daya beli masyarakat. Apalagi, Malaysia sudah membuka beberapa sektor yang sempat ditutup hampir 3 bulan lamanya. Dengan berputarnya roda ekonomi dan kebutuhan terhadap Ringgit yang tinggi. Bisa menjadi pemicu yang baik agar terhindar dari resesi.